- iklan -

JAKARTA, Indonesiatripnews.com: Dimulai sejak usia 14 tahun dengan bakat menggambar dan melukis, Srihadi Soedarsono menjadi pelaku langsung masa perang kemerdekaan RI (1946-1949) serta sejarah seni rupa Indonesia moderen.

Pria kelahiran Solo, 4 Desember 1931 pun menjadi bagian dari Tentara Pelajar di Surakarta, hingga menjadi salah satu maestro lukis Indonesia saat ini.

Uniknya Srihadi menyimpan hasil karya lukisannya sejak remaja, seperti karya drawing pada media kertas yang menggambarkan Hotel Garuda di Yogyakarta bulan Juni 1946 disimpannya dengan rapih.

Karya Srihadi pada era 1946-1952 menunjukkan keterlibatannya secara langsung saat berkembangnya era sanggar seni di Solo. Karya-karyanya ketika ia aktif menjadi anggota sanggar dan Seniman Indonesia Muda dituankannya dalam karya drawing “Ketoprak Sumbangsih” 1947 dan sketsa wajah S Sudjojono, Kartono Yudhokusumo 1947.

Pada periode 1952-1960 merupakan masa belajar ke Barat, Srihadi melanjutkan pendidikannya di Bandung, Jawa Barat, yakni di Balai Pendidikan Universiter untuk Guru Seni Rupa.

Awal studi Srihadi dimulai dengan pengetahuan Seni Abstrak, pendekatan melukis Kubisme, dan proses kerja seni yang lebih terstruktur serta mempelajari dasar-dasar anatomi, gambar model, dan gradasi warna.

Untuk mengembangkan visi artistiknya, Srihadi pergi ke Bali dan tinggal di Pantai Sindhu Sanur, dimana menurutnya masa tersebut sebagai masa dimana ia kembali memikirkan apa yang ia cari dari seni lukis. Ia mendapatkan esensi rahasia alam berupa garis horizon yang memiliki makna tersendiri. Garis itulah yang menjadi perwujudan dari eksistensi dimensi roso sebagai pendekatan berkaryanya.

Pada 1960 Srihadi mendapatkan beasiswa untuk studi Master ke The Ohio State University (OSU), Colombus, Amerika Serikat dan menyelesaikan program Master of Art.

Selama di Amerika bapak tiga anak ini menyempatkan untuk mencari pengetahuan yang dapat menjelasakan baik secara aspek rasional maupun aspek spiritualitas pada pendekatan artistiknya dan membandingkan karyanya ke dalam konteks Barat dan Timur.

Hingga akhirnya mendalami Zen Buddisme yang mengedepankan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia dan alam semesta terletak pada pencapaian yang trasendental, yaitu pada esensi sebagai hakekat kebenaran.

“Dalam menanggapi karya seniman Zen, saya tak ubahnya menghayati falsafah Jawa yaitu sing ono ora ono, sing ora ono, ono,” ujarnya pada acara jumpa pers tentang rencana pameran tunggal Srihadi yang bertajuk “70 Tahun Rentang Kembara Roso” di Jakarta, Rabu (12/1/16).

Ia lebih yakin untuk menempatkan aspek roso dalam pencarian dunia virtual spiritual secara kosmis, mistis, religius, romantik maupun humani, sebagai pendekatan yang melatari esensi penjiwaan dalam berkarya.

Memasuki era 70-an, Srihadi membuat lukisan-lukisan bertema kritis sosial, seperti sindiran terhadap kebijakan pemerintah, misalnya seperti dalam karyanya “Raden Saleh dalam Seragam Militer” 1971, “Beauty Contest” 1971 yang menceritakann situasi politik dimana media koran, pers dan wartawan terpaksa harus bungkem, lalu ada karya“Jakarta the Big Village” 1973 dan “Tanker” 1974.

Pada 1980-an merupakan saat ia keliling Eropa dan konsep horizon telah bertransformasi. Konsep horizon sebagai pendekatan dalam karya media kertasnya kemudian banyak muncul dalam seni karya cat air.

Pada 2005 konsep horizon Srihadi dijadikan sebuah proyek eksplorasi media kertas di Singapore Tyler Prints Institute (STPI). Ia pun diundang untuk membuat bubur kertas, dalam program ini ia menghasilkan 16 karya, cetak dan cat air diolah diatas bubur kertas serta enam karya lukis pape pulp paintings.

Perjalanan lain, saat berkarya dilanjutkannya bersama sang istri tercinta, yakni Farida dengan mengunjungi tempat ibadah seperti Pagoda di Thailand, Pura di Bali, Kamboja, dan Myanmar (Pagan) yang memiliki situs purbakala abad 12-14 dan jauh dari keramaian.

Di tempat itulah menurut Srihadi proses penggambaran sebuah obyek landscape, cityscape, tempat ibadah kuno di Asia dalam bingkai konsep horizon menjadi proses “mencari” dan “menemukan” hal yang esensial, yaitu tanda “kesadaran roso dan logika dalam kaitan mikrokosmos”.

Ada Seorang Bidadari

Dalam perjalanannya menuju kesuksesan berkarir tentu saja Srihadi tak lepas dari dorongan sang istri yang mendampinginya. “Di samping saya ada seorang bidadari,” ujarnya.

Bidadari yang dimaksud Srihadi adalah istrinya, Siti Farida Srihadi, yang saat itu mendampingi sang maestro.

“Kesetiaan istri tidak hanya secara formalitas tetapi dialog itu penting. Pembinaan secara mental sebagai suami istri dipenuhi lewat pembicaraan yang bermutu,” ujar Farida, lulusan seni rupa dan filsafat.

Kaum istri menurutnya harus mengembangkan dan membantu partner secara cerdas serta berperan penting dalam memberikan masukan berkualitas bagi suami.

“Kultur kita terutama di Jawa, begitu banyak empu zaman dulu itu luar biasa dari segi pengalaman spiritual dan intelektual. Tanpa itu repot. Dan salah satu yang berperan adalah istri. Maka istri harus cerdas. Kalau suami tidak dapat nutrisi sehat dan berkualitas, secerdas apapun akan sulit. Dialog paling penting adalah kepada keluarga, terutama istri,” ungkap Farida yang saat itu terlihat kompak mengenakan baju putih bersama sang maestro,

“Tidak mudah menjadi pendamping hidup seorang seniman yang sudah dikenal di tingkat nasional maupun internasional. Sulit, tetapi kalau punya idealisme sulit itu bisa diatasi,” ungkap Farida, yang pertama kali bertemu suaminya di Institut Teknologi Bandung, saat Srihadi menjadi dosen bagian seni rupa dan dia salah satu muridnya.

Kunci sabar mendampingi Srihadi selama 52 tahun dalam perkawinannya menurutnya harus sabar dan terus dihidupkan idealisme.

“Saya ingin mendampingi Beliau sampai akhir hidup, maka saya harus jadi cerdas. Saya ambil master filsafat di UI biar bisa back up dia. Saya belajar terus,” tuturnya.
Pameran “70 Tahun Rentang Kembara Roso”

Pada 11-21 Februari mendatang, Srihadi akan merayakan 70 tahun perjalanannya sebagai pelukis dengan menggelar pameran “70 Tahun Rentang Kembara Roso” dan peluncuran buku “Srihadi Soedarsono: 70 years Journey of Roso” di Galeri Nasional Indonesia.

“Pameran ini bukan akhir dari perjalanan saya sebagai seorang seniman lukis, sekarang saya berusia 84 tahun, saya akan terus berkarya di bidang seni rupa, tidak ada pensiunnya,” ungkapnya.

Yang harus dilanjutkan menurutnya masalah kualitas, menghasilkan karya seni yang kualitasnya berkembang agar tidak dibilang mentok.

Lebih dari 400 karya Srihadi dari tahun 1946-2015 di atas media kertas menjadi karya periode penting dalam pameran nanti, meliputi poster-poster perjuangan di era revolusi kemerdekaan RI, cat air, drawing, sketsa, dan lukisan pastel. Selain itu terdapat tujuh lukisan dengan tema penari Bedoyo, Borobudur, pemandangan ritual masyarakat petani, dan penari Bali.

Ia mengatakan, “Saya melihat tumpukan kertas-kertas lukisan saya, akhirnya saya mendapat ide kenapa tidak dipamerkan untuk memperlihatkan pengalaman. Ternyata, tumpukan kertas itu cukup untuk pameran”.

Srihadi yang juga akademisi dengan gelar profesor ini mengatakan, “Pameran tunggal kali ini memang paling banyak menyajikan karya dengan material kertas yang menurutnya dapat menjadi sarana edukasi bagi publik bahwa karya seni rupa dengan material kertas juga sangat penting dan membantah wacana sempit bahwa karya seni rupa itu hanya cat di atas kanvas saja”.

“Judul ini sudah lama saya cita-citakan, baru akhirnya ada kesempatan pakai nama itu. Awal berkarya itu didorong oleh roso yang keluar dari kalbu. Kalau kita menggali pada diri kita sendiri itu ada hal-hal yang bisa diekspresikan, dorongan dari roso,” ungkapnya.

Sementara pada kesempatan yang sama, Rikrik Kusmara selaku kurator menjelaskan, “Pameran ini menampilkan sisi lain yang tidak banyak diketahui dari sosok Srihadi”.

“Setelah me-review perjalanan pak Srihadi, saya menemukan karya yang dahsyat dan sakti. Melihat karyanya menggetarkan sekali. Saya memahami makna sebuah maestro dari beliau,” tambah Rikrik.

- iklan -