JAKARTA, ITN- SETELAH 14 tahun, akhirnya sutradara Adisurya Abdy kembali membesut sebuah film “Sara & Fei, Stadhuis Schandaal” dengan memperkenalkan wajah-wajah baru, bercerita tentang perjalanan Fei mengungkapkan kisah sesungguhnya Sara di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
Film ‘Sara & Fei, Stadhuis Schandaal’ berkisah tentang mahasiswi, Fei. Saat melakukan riset di kota tua Batavia, untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Fei didatangi gadis blasteran Belanda – Jepang bernama Sara. Suatu hari, setelah pulang dari Shanghai, Fei kembali mendatangi gedung Museum Jakarta, yang terkenal dengan nama Museum Fatahilah. Dulunya, gedung ini adalah balai kota bernama Stadhuis. Tiba-tiba Sara kembali muncul dan tanpa disadari membawa Fei masuk ke lorong waktu menuju abad 17, masa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon memerintah Batavia. Dari sini cerita semakin menarik. penuh misteri dan pesan.
“Saya memang tidak ingin membuat film sejarah, tetapi membuat film yang menggambarkan sebuah situasi atau sebuah episode yang konon pernah terjadi di jaman kolonial, yakni tentang gedung yang penuh dengan skandal”, ujar sutradara era tahun 1980 an yang ngetop dengan film Roman Picisan, Macan Kampus, Asmara, Ketika Cinta Telah Berlalu dan beberapa film populer lainnya, Adisurya Abdy saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (20/7/18).
Film kolaborasi perdana Adisurya yang berkolaborasi dengan XELA Pictures ini melahirkan sebuah drama thriller dan misteri yang mampu menarik minat penonton usia muda. Segmen ini disasar karena merekalah yang paling banyak datang ke bioskop.
“Film ini menawarkan sesuatu yang berbeda dengan format kekinian, tetapi unsur-unsur historisnya tetap terpenuhi. Sehingga memberikan generasi baru untuk banyak mengetahui sejarah yang belum terungkap”, papar Adisurya Abdy lebih lanjut..
Dengan kekuatan cerita, Omar Jusma yang menjadi Produser pun optimis film ‘Sara & Fei, Stadhuis Schandaal’ dapat meraup banyak penonton. “Kami memasang bintang yang berpotensi dan memiliki karakter yang sesuai dengan film ini”, jelas Omar
Seputar penggunaan kata berbahasa Belanda, Stadhuis Schandaal pun merupakan unsur kesengajaan. Seperti yang dijelaskan oleh sang sutradara,“Gunanya agar penonton sejak awal sudah mengetahui bahwa film ini memiliki latar belakang jaman Belanda”.
Tak pelak, ini merupakan sebuah film drama yang meminjam situasi era kompeni dengan memakai kacamata anak muda masa kini atau yang biasa disapa dengan generasi millenials. Konsep artistik pun disesuaikan dengan jaman itu. Sampai-sampai sang sutradara, Adisurya Abdy membangun set berupa tangsi dan benteng Belanda di atas tanah seluas 1.500 m2 di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang digabung dengan teknologi visual effect, sebagimana digunakan oleh industri perfilman modern saat ini.
“Kami sudah mencoba mencari bangunan-bangunan sisa peninggalan Belanda yang ada di Indonesia, tetapi tidak sesuai dengan kriteria dan mekanisme kerja yang akan kami lakukan. Untuk itu maka kami putuskan lebih baik membangun set sendiri agar kerja tim menjadi lebih bebas”, ungkapnya.
Selain wajah seperti Amanda Rigby, Tara Adia, Haniv Hawakin, Volland Volt dan Mikey Lie, film ini juga menghadirkan pemain pendukung yang sudah malang melintang di industri film Tanah Air yaitu Anwar Fuady, George Mustafa Taka, Rowiena Umboh, Rensy Millano, Tio Duarte, Septian Dwi Cahyo, Iwan Burnani, Julian Kunto, Aby Zabit El Zufri serta beberapa pemain pendukung lainnya seperti Lady Salsabyla, Ricky Cuaca, Stephanie Ady, Iqbal Alif, Andhika Ariesta, dan Yurike Cindy.
Penata musik film ini dikerjakan Areng Widodo, pemusik senior yang pernah beberapa kali bekerjasama dengan Adisurya Abdy dengan menyajikan kembali lagu ciptaannya berjudul ‘Syair Kehidupan’yang cukup populer dan diaransemen ulang serta dinyanyikan oleh Hilda Ridwan Mas.
Demi meraih minat penonton di pasar Tiongkok, film ini mengambil lokasi syuting di dua negara yaitu Jakarta, Pangkalan Bun Kalimantan (Indonesia) serta Shanghai dan Ningbo (Tiongkok).
“Kami pun bermitra dengan perusahaan film dan distribusi film dari Tiongkok. Kami melihat potensi penonton film di Indonesia masih sangat besar. Dengan memproduksi film berlatar belakang sejarah, kami pun ingin mengangkat budaya Indonesia ke manca negara termasuk Tiongkok yang menjadi pasar kedua film perdana kami ini”, tutup Alexander Sutjiadi, Pemilik XELA Pictures dan Produser Eksekutif Film ‘Sara & Fei, Stadhuis Schandaal’. (evi)