JAKARTA, ITN– RISET Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka stunting pada usia balita di Indonesia mengalami penurunan, dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (2018). Namun, sebanyak 18 provinsi masih memiliki angka stunting sebesar 30-40%, bahkan 11,5% tergolong sangat pendek. Bila dikalikan dengan jumlah balita di Indonesia, maka jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit.
“Yang kita khawatirkan adalah korelasinya dengan risiko retardasi mental,” ujar Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/RSCM, Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K), dalam acara MilkVersation Hari Gizi Nasional – Investasi Pangan Hewani, Stunting, dan Upaya Selamatkan Generasi Mendatang.
Bila diartikan, stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka panjang (kronis). “Bisa karena asupan nutrisinya tidak cukup, atau karena kebutuhannya meningkat misalnya karena anak sakit,” jelas dokter Damayanti.
Persoalan stunting di Indonesia sudah terjadi sejak 40-50 tahun lalu. Di beberapa daerah, bahkan ada kasus stunting yang mengenai tiga generasi, dari kakek/nenek, bapak/ibu, dan anak.
Stunting bukan sekadar persoalan perawakan pendek. Dijelaskan oleh Dr. dr. Damayanti, stunting selalu dimulai dari penurunan berat badan (BB) atau weight faltering akibat asupan nutrisi yang kurang. “Saat BB mulai turun, anak tidak langsung jadi pendek. Terjadi penurunan fungsi kognitif dulu, baru stunting,” paparnya.
Anak dengan BB <10 kg, sebanyak 50-60% energi dipakai untuk perkembangan otak. Bila asupan nutrisinya kurang, maka otak yang akan dikorbankan terlebih dulu. Anak yang ‘baru’ mengalami weight faltering saja bisa mengalami penurunan IQ hingga 3 poin. Bisa dibayangkan betapa banyak penurunan IQ yang mungkin muncul bila anak sampai stunting.
Selain fungsi kognitif terganggu, pembakaran lemak pun terganggu. Sehingga ketika anak diberi makan banyak, mudah terjadi obesitas. “Bila ditelusuri, orang yang sekarang mengalami penyakit degeneratif mungkin dulunya stunting,” ujarnya.
Otak dan sinaps-sinapsnya berkembang pesat selama 1.000 hari pertama kehidupan atau hingga anak berusia 2 tahun. “Sampai usia dua tahun, anak tidak boleh kekurangan nutrisi sama sekali, karena dampaknya irreversible,” tegas dokter Damayanti lebih lanjut.
Proporsi kebutuhan nutrisi anak menurutnya berbeda dengan dewasa. Akhir-akhir ini banyak digaungkan mengenai piring makan sehat, di mana ½ piring berisi sayur dan buah. “Itu untuk orang dewasa, bukan untuk anak. Untuk anak, kebutuhannya berbeda,” ujarnya.
Selewat masa ASI eksklusif 6 bulan, selain pemberian ASI, asupan lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi adalah MPASI. Komposisi MPASI idealnya juga menyerupai komposisi ASI; harus mengandung karbohidrat, lemak, dan protein. Sejak awal MPASI hingga usia 2 tahun, ketiga makronutrisi ini harus tercukupi, untuk mendukung pertumbuhan otaknya. Ya, jangan takut memberikan lemak pada si kecil, karena zat ini sangat penting bagi otaknya.
Protein utamakan hewani, karena dalam ASI, komposisi protein hewani lebih banyak. “Kandungan asam amino pada protein hewani lengkap,” teangnya.
Sedangkan protein nabati, asam aminonya kurang lengkap. Protein hewani boleh digabung dengan protein nabati, asal selengkap asam amino esensial pada ASI.
Dr dr Damayanti mengkritisi tren pemberian puree sayur dan buah, atau tepung-tepung organik berbasis nabati. Menurutnya, makanan dengan sumber tunggal seperti ini tidak mencukupi kebutuhan nutrisi anak. Boleh saja memberikan puree buah/sayur, tapi harus ada protein hewani.
Susu dan telur adalah sumber protein hewani yang paling baik. Diikuti dengan produk susu, unggas, ikan, hati, dan daging. Jadi, sumber hewani tidak harus mahal. Anak bisa diberi telur, hati ayam, dan berbagai jenis ikan lokal yang harganya relatif terjangkau. (*/evi)