- iklan -

JAKARTA, ITN- MEMBUKA partisipasi publik menjadi keharusan dalam era keterbukaan seperti saat ini, antara lain dengan mendorong kelompok dan organisasi masyarakat berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal itu bukan hanya sebagai amanat dari UU No23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tapi menjadi suatu kebutuhan pembangunan khususnya pembangunan lingkungan hidup.

Hal itu disampaikan Ir Elvianus Wairata, MSi, mantan kepala Bappeda Pemkot Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ditemui di Jakarta, hari ini. “Kita harus mendorong setiap pemda melakukan reformasi birokrasi dan secara inovatif melibatkan masyarakat. Kita melakukan perubahan dengan menyertakan masyarakat dalam perencanaan partisipatif dan komprehensif,” ujar Elvianus.

Di Pemkot Kupang, misalnya, berbagai NGO dihimpun dan dipayungi dengan menyediakan sekretariat bersama di Kantor Bappeda, seperti Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Jerman, dan  AIPMNH (Australia’s Maternal and Neonatal Health Program in Indonesia), Climate and Development Knowledge Network (CDKN), dan berbagai lembaga masyarakat lokal seperti Geng Motor IMUT (Inovasi Mobilisasi untuk Transformasi) yang merupakan NGO local dari komitmen sarjana peternakan setempat kini telah berhasil membantu energi rumah tangga dengan inovasi biogas.

“Saya mengajak teman-teman NGO ini untuk ikut berpartisipasi dalam program konservasi terutama konservasi air. Ini penting melibatkan semua pihak sehingga semua pihak menyadari pentingnya pemeliharaan lingkungan dan isu perubahan iklim, termasuk dalam kaitannya dengan pencapaian target SDG’s atau Agenda 2030 di Kupang,” ajak Elvianus.

kupangMenurutnya, Bappeda bersama CDKN menggelar diskusi “Perubahan Iklim dan pembangunan Berkelanjutan di Bappeda Kota Kupang” di Kupang pada 3 November 2016. Diskusi ini melahirkan komitmen untuk perencanaan pembangunan yang berlanjutan dengan memperhatikan tantangan dan peluang perubahan iklim.

Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT berpenduduk 556 ribu jiwa lebih, terus menghadapi persoalan yang sangat pelik: air bersih dan pasokan energi lisrik. Air karena fisik daerah yang topografi berbatu, dengan curah hujan hanya tiga bulan dalam setahun, dan tidak ada sumber air yang cukup. Sementara pasokan listik pun terbatas sehingga kerap terjadi pemadaman. Disisi lain, pertumbuhan penduduk cukup tinggi yakni 3 persen.

“Masalah air bersih dan listrik ini menjadi problematika paling besar bagi Kota Kupang. Pak Wali Kota sudah punya komitmen lebih baik di rumahnya beli air pikulan daripada hotel misalnya (sebagai garda depan wisata NTT) kekurangan air,” kata Ir Elvianus Wairata.

Sosok Ir Elvianus Wairata, MSi merupakan  sosok yang unik, inovatif dan banyak gagasan. Dia merupakan pencetus gagasan Ecoport, pelabuhan berwawasan lingkungan, yang pernah diusulkannya ke Kementerian Kelautan dan Perikanan sekitar 15 tahun lalu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan model dan membawanya serta tim berangkat ke Tasmania, Australia. Saat itu, Elvianus menjabat sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan.

Elvianus juga menjadi salah satu penggagas gerakan Kupang Green and Clean (KGC) tahun 2008 saat menjadi Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan, Tanaman Pangan. Gerakan ini sangat penting karena Kota Kupang dan umumnya wilayah di NTT, memiliki fisik daerah yang topografi berbatu, dengan curah hujan hanya tiga bulan dalam setahun, dan tidak ada sumber air yang cukup.

“Bayangkan dulu itu masyarakat kita harus antri begadang sampai jam 2 pagi untuk mendapatkan dua ember air bersih. Kita punya masalah besar karena air permukaan kita itu terbuang begitu saja ke laut padahal kita butuh pasokan air bersih lebih banyak,” ujarnya.

Melalui program KGC ini, batu-batu disulap menjadi pepohonan. Batu dihancurkandicampur tanah, dan bibit pohon ditanam disana. Lalu pohon itu nanti cari akar sendiri. Mahoni, Jati Putih dan Angsana ditanam disana. Masyarakat, dunia usaha, pemerintah hingga TNI/Polri terlibat di sana, bersatu padu melakukan penghijauan. Hasilnya seperti terlihat saat ini, sejumlah wilayah di Kota Kupang pun mulai hijau.

“Dulu Kupang Green and Clean saya kerja sama dengan wartawan, untuk memotret kelurahan yang rajin menanam dan melakukan kebersihan. Lama-lama mereka terdorong untuk menanam. Kita memang perlu memberikan pengertian, sebab orang tidak mengerti mitigasi iklim, tapi akan berubah jika melihat dampaknya,” sambung pria kelahiran Ambon, 2 Juni 1961 ini.

Bahkan, gerakan ini berbuah manis dengan penghargaan di Thailand, serta tiga kali mendapat penghargaan Adipura untuk Kota Kupang. Tak hanya itu, meskipun belum optimal, namun air hujan yang sedikit setiap tahun sudah bisa ditampung oleh pepohonan dan juga gerakan lain seperti pembuatan sumur resapan dan lainnya.

Tapi menurutnya, gerakan ini menjadi penting karena komitmen tinggi yang disampaikan Wali Kota Kupang Jonas Salean. “Pak Wali Kota berkomitmen lebih baik di rumahnya beli air pikulan daripada hotel misalnya sebagai serambi wisata NTT kekurangan air,” ungkap pria  lulusan S1 Perikanan di Universitas Pattimura, dan S2 Studi Pembangunan dari Satya Wacana, Salatiga, dan pernah melakukan kunjungan ke Harvard University dan North Western University, AS.

Karirnya sebagai pegawai negeri dimulai ketika menjadi penyuluh pertanian selama 14 tahun di Timtim (kini Timor Leste). Disini, Elvianus harus berjuang membimbing para petani untuk berhasil dalam bidang perkebunan cengkeh. “Butuh kesabaran untuk meyakinkan masyarakat bertanam cengkeh karena butuh waktu tujuh tahun,” ucapnya.

Setelah Timtim merdeka, pria ini menjadi kepala pelabuhan perikanan Nusantara di Provinsi NTT. Disinilah kemudian gagasan-gagasan cemerangnya muncul. Termasuk soal Ecoport tadi. “Saya punya impian sebuah pelabuhan yang ramah lingkungan dan multi fungsi dengan sektor lain. Usulan saya diterima ketika itu menterinya (Departemen Kelautan dan Perikanan)  Freddy Numbery ,” ujar Elvianus lagi.

Tak hanya itu, ia pun harus putar otak melakukan konservasi terumbu karang dengan melibatkan para nelayan, pekerjaan yang menurutnya sangat sulit namun dengan mengajak secara positif dalam memberikan keyakinan, para nelayan pun akhirnya mau terlibat untuk pemeliharaan terumbu karang yang juga akan menjadi sumber penghasilan ikan mereka.

Selain sukses dengan KGC, saat menjadi Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan Tanaman Pangan, Elvianus  juga punya program “1.000 Anak Mangga”, yang juga masih terkait upaya pemanfaatan lahan untuk tanaman bermanfaat. (evi)

- iklan -