- iklan -

BANGKA, ITN- TERLETAK di Jalan Ahmad Yani No 179 Pangkal Pinang, Bangka Belitung, museum ini memaparkan sejarah penambangan timah di Pulau Bangka sejak abad ke-17.

Museum Timah Indonesia, menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang menarik bagi wisatawan karena merupakan satu-satunya museum timah yang ada di Indonesia dan pertama di Asia. Museum ini tidak hanya bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya yang ingin mengetahui sejarah pertimahan, namun juga telah menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

“Wisatawan mancanegara yang datang ke museum terutama pada hari libur nasional, adalah Singapura, China, Jepang, dan Belanda. Sedangkan pada hari biasa banyak dikunjungi pelajar PAUD hingga SLTA,” ujar pemandu wisata Museum Timah Indonesia, Desti Wulandari kepada Indonesiatripnews.com.

Mengunjungi Satu-satunya Museum Timah di Indonesia dan Asia
Koleksi alat-alat pertambangan timah kuno.

Museum Timah juga menjadi daya tarik luar biasa bagi wisatawan yang pernah memiliki ada hubungan emosional dengan Bangka Belitung, seperti orang Belanda yang dulu pernah bekerja di Bangka.

Museum menjadi menarik karena disamping koleksinya tentang sejarah penambangan timah, gedungnyapun merupakan tempat bersejarah karena dijadikan lokasi beberapa kali perundingan atau diplomasi antara pemimpin republik yang diasingkan ke Bangka dengan pemerintah Belanda dan UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sehingga lahirlah Roem-Royen Statement pada tanggal 7 Mei 1949 (delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr Moh Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh HJ Van Royen).

Mengunjungi Satu-satunya Museum Timah di Indonesia dan Asia
Maket replika kapal keruk dan kapal isap produksi timah

Museum Timah bukanlah museum budaya melainkan museum teknik. Museum tersebut hanya menampilkan benda-benda sejarah pertimahan yang berhubungan dengan aktivitas pertimahan dan tidak untuk menampilkan benda-benda budaya. Kalaupun ada benda budaya yang ditampilkan, itu semua mengingat karena Museum Timah satu-satunya museum di kota ini. Memang museum ini sempat difungsikan sebagai Museum Budaya, hingga diresmikan sebagai Museum Timah Indonesia pada 2 Agustus 1997.

Alasan PT Timah memilih bangunan yang sekarang menjadi Museum Timah itu adalah karena bangunan tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi. Pada masa perjuangan, gedung tersebut sering dijadikan gedung pertemuan. Bahkan, Bung Karno dan Bung Hatta pun pernah menginap disana.

Museum Timah dibuka pukul 08.00 – 16.00 WIB setiap hari kecuali hari Jumat dan hari libur nasional museum ini tutup, pengunjung tidak dikenakan biaya tiket masuk.

Beberapa koleksi Museum Timah Indonesia, diantaranya terdiri dari alat-alat penambangan timah kuno, rantai kayu, gayung kayu, belincong tambang. Balok timah dari abad ke 8 M hingga sekarang, batuan granit di Bangka Belitung, diorama tambang timah metode “Sumur Palembang”, eks peralatan penunjang kerja kantor semasa UPTB (Unit Penambangan Timah Bangka), dan foto kegiatan penambangan timah pada zaman penjajahan Belanda.

Mengunjungi Satu-satunya Museum Timah di Indonesia dan Asia
Penjelasan sejarah Lada Putih Muntok.

“Dinamakan Sumur Palembang, karena dipercayakan hanya orang Palembang yang berani bekerja di sumur penambangan tersebut dengan membuat goa,” ungkap Desti.

Museum Timah Indonesia yang telah direnovasi pada 2 Agustus 2010 ini memiliki replika prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan menjelaskan Kerajaan Sriwijaya, replika kapal keruk dan kapal isap produksi timah, maket penambangan darat dan penambangan laut, dsb.

Desti menambahkan, “Timah pertama kali ditemukan nenek moyang yang sedang mencari kayu bakar dan menemukan biji timah yang berkilau tepatnya di daerah Merawang sebelum Sungailiat. Museum Timah Indonesia ada dua, satu disini dan satunya lagi di Jalan Jenderal Sudirman Muntok, Bangka Barat, Bangka Belitung.

Tak hanya itu di museum ini pengunjung juga dapat mengetahui jenis batuan timah dan granit. “Selain timah, Bangka juga penghasil lada putih, dan ini penjelasan sejarah Lada Putih Muntok dari 100 SM, abad ke-17,  1860, dan 1869. Serta proses lada mulai dari pemetikan, perendaman, dan penjemuran,” ujar Dest. (evi)I mengakhiri penjelasannya. (evi)

 

- iklan -