JAKARTA, ITN- PENULIS naskah dari New York dan Sutradara asal Amerika, Rhoda Grauer serta ketiga terhebat di dunia, Robert Wilson bekerjasama dengan Yayasan Bali Purnati akan menggelar pementasan “I La Galigo”.
I La Galigo merupakan pementasan yang naskahnya diadaptasi dari naskah terpanjang “Sureg Galigo” abad ke-14. Kitab atau buku ini mengisahkan mitos penciptaan suku Bugis yang terdokumentasi lewat tradisi lisan dalam bentuk syair dan ditulis dalam huruf Bugis kuno.
Seperti tak percaya jika naskah terpanjang tersebut mampu menjadi sebuah pertunjukan teater mengingat naskah ditulis di atas lembaran daun lontar dan terdiri dari 6.000 halaman.
“Saya jatuh cinta terhadap Sureq Galigo melalui riset dari Komunitas Bissu di Sulawesi Selatan, dan saya heran kenapa tidak banyak orang Indonesia yang tahu apa itu Sureq Galigo dan betapa pentingnya tradisi tersebut bagi negara Indonesia,” ujar Rhoda Grauer beberapa waktu lalu pada jumpa pers di Jakarta.
Ia mengatakan, “Cerita yang berbeda denegan cerita klasik lainnya, I La Galigo memang cerita yang seirus, tetapi banyak juga adegan-adegan yang lucu”.
Dalam adaptasi pertunjukan Kontemporer ini, I La Galigo akan menampilkan kisah perjalanan, petualangan, peperangan, kisah cinta terlarang, upacara pernikahan yang rumit, dan juga pengkhianatan.
“Banyak versi dari I La Galigo, mulai dari versi panjang dan versi singkat, kami memilih satu versi yang khusus untuk dipentaskan,” ungkap Rhoda.
Sementara Produser I La Galigo dari Yayasan Bali Purnati, Restu Imansari Kusumaningrum mengatakan, “Akhirnya setelah 20 tahun pertunjukan ini bisa kembali ke Jakarta dan akan menjadi kebanggaan tersendiri bisa kembali ke Kota Jakarta”.
Menurutnya I La Galigo memulai pentas perdana di Esplanade Theater on the Bay Singapura pada 2003. Lanjut ke berbagai penjuru dunia, diantaranya Lincoln Center Festival New York, Het Muziektheater Amsterdam, Forum Universal de les Cultures Barcelona, Les Nuits de Fourviere Rhone Prancis, Ravenna Festival Italia, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival Taipei, Melbourne International Arts Festival, Teatro Arcimboldi Milan, lalu pulang kampung ke Makassar.
Bahkan ‘I La Galigo menjadi pementasan khusus kelas dunia saat pembukaan Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. Media sekelas The New York Times pun menyebutnya sebagai ‘stunningly beautiful music-theater work’ ketika membuka Festival Lincoln Center 2005 silam.
“Semua tur keliling itu kami lalui bersama Robert Wilson dan dramaturgi Rhoda Grauer. Ini adalah kekayaan bangsa yang kini dilanjutkan ke generasi muda, sekarang tim ‘I La Galigo’ masuk di generasi kedua. Dari 15 orang bertahan ke 13 orang,” ungkap Restu.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur Ciputra Artpreneur, Rina Ciputra Sastrawinata, menjelaskan, “Pementasan ini bermula dari obrolan tiga tahun yang lalu saat berada di Milan, Italia. Saya sempat tanya apa kostum I La Galigo masih ada dan komplit. Bagaimana kalau pentas di Jakarta lagi, teater saya sudah hamper rampung”.
Ia membutuhkan cerita yang menarik dan produksi kelas dunia. “Saya mengakui pertunjukan ini memang megah, kelas dunia, dan begitu banyak keahlian dari segi modern,” ungkapnya.
Menurut Rina, pementasan ini menarik dari segi produksi kelas dunia, sangat megah dan luar biasa. “Saya berharap dengan menampilkan pertunjukan teater ini kembali ke Jakarta, penonton akan mengalam pengalaman yang berbeda”.
Tanri Abeng, pembina Yayasan I La Galigo, menambahkan bahwa selama 20 tahun perjalanan pertunjukan I La Galigo merupakan bagian dari pelestarian seni dan budaya Indonesia. “Saat I La Galigo dipentaskan di New York, sebanyak 2.000 kursi itu penuh dan mendapatkan standing ovation,” ungkapnya.
“Sutradara Robert Wilson dapat menampilkan karya I La Galigo secara spektakuler. Buktinya, pertunjukan teater ini mendapat sambutan luar biasa dari dunia internasional. Saya harap pertunjukan di Jakarta Juli nanti akan sama suksesnya dengan pertunjukan sebelumnya, dan jangan sampai dilewatkan oleh pencinta seni,” ujarnya.
Tim produksi yang akan memproduksi teater ini nanti akan banyak digarap oleh tim dari Indonesia, bukan saja dari luar negeri. Adapun pemeran utama dalam pementasan ini adalah Gentille Andilolo dan Sri Qadariatin.
Pementasan I La Galigo juga diakui pemain teater Sri Qadariatin sebagai seni tradisi yang menginspirasi kontemporer.
“Ini berangkat dari seni tradisi yang kami (Indonesia) miliki dan membuat sesuatu yang berbeda (kontemporer). Menurut saya, pertunjukan ini asyik banget,” ujar perempuan yang akrab disapa Uung ini.
Tiket pementasan kelas dunia I La Galigo yang berlangsung di Ciputra Artpreneur Theater pada 4-7 Juli 2019 sudah bisa dibeli mulai 21 Maret 2019 dengan harga dari Rp475 ribu hingga Rp1.850.000. (evi)