- iklan -

JAKARTA, ITN- KESETARAAN bagi anak perempuan memberi kontribusi yang besar bagi ekonomi dan sosial terhadap masyarakat. Namun faktanya anak perempuan masih menjadi kelompok yang terdiskriminasi karena hak-hak mereka terenggut, serta menderita karena ketidakadilan seperti putus sekolah, dipaksa untuk menikah, atau hamil di usia anak-anak.

Salah satu bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi anak perempuan yang telah menjadi masalah global dan menjadi perhatian banyak pihak adalah perkawinan usia anak. Data UNICEF menyebutkan bahwa setiap hari ada 41.000 anak di dunia yang dipaksa menikah. Jika tidak diantisipasi, maka pada tahun 2030 akan ada lebih dari 150 juta anak perempuan yang menjadi pengantin anak (UNICEF 2018).

Plan International, organisasi kemanusiaan independen yang berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak anak turut berpartisipasi aktif dalam “Girls Not Brides” – kemitraan global lebih dari 900 organisasi masyarakat sipil dari 95 negara yang berkomitmen untuk mengakhiri perkawinan anak dan memungkinkan para anak perempuan untuk memenuhi potensi mereka.

Melalui program global 18+ (Ending Child, Early and Force Marriage), Plan International bekerja di tingkat lokal, nasional dan internasional agar jutaan anak perempuan tidak menikah di usia anak, tetap bersekolah dan memutuskan sendiri kapan menikah. Program ini menggunakan pendekatan holistik untuk mengidentifikasi dan mengatasi akar penyebab dari tradisi berbahaya perkawinan usia anak.

“Di Indonesia, Plan International bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mengakhiri CEFM melalui program ‘Yes I Do’ dengan dua organisasi mitra (Rutgers WPF dan Aliansi Pemuda Independen,” ujar Chief Executive Officer Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen, dalam pers rilis yang diterima Indonesiatripnews.com di Jakarta, Kamis (28/6/18).

Plan International mengajak pemerintah, orang tua, masyarakat dan komunitas bekerjasama untuk mengakhiri CEFM. “Meminta pemerintah menetapkan usia menikah yang sah menjadi 18 tahun dan menegakkan hukum untuk melindungi anak-anak. Mendukung anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi serta mendorong pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh keterampilan melalui pendidikan formal atau pendidikan non-formal, seperti pelatihan kerja,” ungkap Anne-Birgitte.

Yayasan Plan International Indonesia

Perkawinan usia anak juga banyak terjadi di Indonesia. Setiap jam, 16 anak perempuan di Indonesia (1 dari 9) menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF dan BPS 2016). Ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia anak, seperti akses pendidikan seksual komprehensif yang tidak memadai, perilaku berisiko, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, nilai budaya, agama, dan kehamilan yang tidak diinginkan.

“Yayasan Plan International Indonesia ikut berperan aktif melakukan sejumlah kegiatan bersama berbagai pihak guna mencegah perkawinan anak dan melindungi hak anak perempuan. Kami melakukan pendekatan berbasis masyarakat dengan menggandeng mitra-mitra dan para pemangku kepentingan (termasuk pemerintah daerah di berbagai tingkatan) yang bernama nama Komisi Perlindungan Anak Desa (KPAD),” papar Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti.

Program ‘Yes I Do’ yang diluncurkan tahun 2016 berkomitmen untuk mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak, kehamilan remaja, dan praktik berbahaya bagi organ reproduksi perempuan. Saat ini ‘Yes I Do’ menerapkan tindakan pencegahan berbasis komunitas atau KPAD di Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat) yang angka perkawinan anaknya cukup tinggi karena norma budaya. (*/evi)

- iklan -