- iklan -

JAKARTA, ITN- HUTAN rawa gambut Tripa atau lebih dikenal dengan sebutan Rawa Tripa adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai ± 61.803 hektar. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot, Aceh Barat Daya (Abdya).

Di dalam wilayah Tripa mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan.  Rawa Tripa memiliki peran sangat penting, yaitu sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir serta benteng alami bagi bencana tsunami. Selain itu, Rawa Tripa juga dapat menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif bagi produksi pertanian yang berada di sekitarnya.

Rawa Tripa juga sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Di dalam kawasan ini terdapat sedikitnya 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Lele (biasa dan jumbo), Belut, Paitan dan Kerang.

Menunggu Pemulihan Hutan Rawa Gambut Tripa
Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad (kiri) didampingi pengacara GeRAM Harli Muin pada jumpa pers di Jakarta, Rabu (28/11/17).

Tak hanya itu, Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar. Hal penting lainnya adalah beberapa sumber daya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya. Berbagai jenis satwa penting dan langka yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa antara lain Beruang Madu (Helarctos malayanus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Burung Rangkong (Buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya.

Bahkan hasil penelitian Prof. Carel Van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil (Kertas Posisi Penyelamatan Rawa Tripa, TKPRT, 2009).

Menunggu Pemulihan Hutan Rawa Gambut Tripa
Lahan Gambut Rawa Tripa di Kabupaten Naya Raya, Aceh. Foto. Mangabay

Namun, sayangnya rawa gambut Tripa saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pembukaan lahan di dalam kawasan tersebut oleh perusahaan perkebunan. Padahal kawasan tersebut secara tradisional merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal. Laju penghancuran rawa gambut Tripa di Aceh telah meningkat secara dramatis dalam beberapa bulan terakhir. Jika hal ini terus dibiarkan besar kemungkinan hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan orangutan Sumatera atau Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) yang dilindungi akan terancam punah.

“Pada tahun 2014, PT Kalista Alam (PT KA) telah dinyatakan bersalah melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar  lahan Gambut Rawa Tripa, di Kabupaten Nagan Raya. Kejadian tersebut menyebabkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT KA di Pengadilan Negeri Meulaboh,” ujar pengacara Gerakan Rakyat Menggugat (GeRAM), Harli Muin saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (28/11/17).

GeRAM merupakan sebuah gerakan yang berasal dari pembela lingkungan di seluruh Wilayah Kawasan Ekosistem Leuser. Mereka pada jumpa pers ini mempertanyakan mengapa Pengadilan Negeri Meulaboh menerima Gugatan PT Kalista Alam yang disidangkan hari ini sementara putusan Mahkamah Agung yang sudah Inkracth eksekusinya diabaikan sampai sekarang.

Menurutnya Rawa Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang terkenal. Sebelum pengrusakan, Rawa Tripa dikenal di dunia sebagai “Ibukota Orangutan di Dunia” karena kepadatan polulasinya. Pada tingkat pengadilan pertama, Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA membayar Rp114.3 miliar, setara dengan 8.5 juta USD kepada negara, dan Rp251.7 miliar atau setara dengan  USD 18 miliar untuk memulihkan kawasan seluas 1.000 hektar lahan yang dibakar. PT KA tidak menerima putusan tersebut dan melakukan banding  di Pengadilan Tinggi Aceh dan terakhir, melakukan kasasi, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi PT KA dan memerintahan kepada PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT KA.

Putusan MA adalah kemenangan penting bagi pemerintah dan kemenangan hukum perlidungan lingkungan di Indonesia. Lebih signifikan, bagi masyarakat lokal, kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha pemulihan di Tripa. Pada September 2015, Mongabay,  mengutip Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan, “Kami sangat mengapresiasi terhadap keputusan pengadilan. Di samping memimpin, rasa keadilan bagi masyarakat harus dipenuhi, dan saya akan menindaklanjuti perkembangan ini dengan mengeksekusikan keputusan tersebut”.

Namun dua tahun setelah putusan MA, eksekusi terhadap putusan belum dilakukan. “KLHK telah menyampaikan permohonan eksekusi putusan Inkracth kepada Ketua PN Meulaboh, dan PN Meulaboh tidak memiliki alasan yang kuat untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan tersebut,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia menagatakan, “Kami tahu bahwa PT KA melakukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2016. Namun, menurut Pasal 66 ayat 2 UU No.14 Tahun 1985, PK tidak dapat menunda pelaksanaan eksekusi”.

Sementara Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, menyatakan, 18 April 2017, MA sudah menolak permohonan peninjauan kembali PT KA, jadi PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa pada tanggal 20 Juli, Ketua PN Meulaboh memberikan Penetapan Perlidungan hukum terhadap PT KA dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo.

Kemudian PT KA melakukan  gugatan terhadap KLHK,  Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh dengan perkara No. 14/Pdt.G/Pn.Mbo. Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan eksekusi keputusan tahun 2014 tidak bisa dilaksanakan sampai ada keputusan terhadap gugatan baru.

“Sebenarnya, tidak ada gugatan baru yang diajukan oleh perusahaan bisa membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan. Dan juga tidak ada justifikasi untuk memberikan terdakwa ‘perlindungan hukum’. Apa yang dilakukan Ketua PN Meulaboh membingungkan, kecuali PT KA mencari-cari alasan menghindari membayar dan PN Meulaboh mencari alasan untuk menunda pelaksanaan eksekusi,” lanjutnya.

Menunggu Pemulihan Hutan Rawa Gambut Tripa
Penyelamatan orangutan di Rawa Tripa. Foto. Mangabay

Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh.  Jutaan ton karbon lepas ke atmosfir setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut dan merupakan masalah di Indonesia.

Kejadian ini, tidak saja membebani ekonomi Indonesia, tetapi juga kesehatan dan keamanan warga negaranya, dan juga merugikan negara tetangga, seperti  Singapura, dan juga berkontribusi terhadap perubahan Iklim Global. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap 1.200 ton per-hektar karbon. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, mendukung nelayan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.

“Pengrusakan lahan Gambut Tripa merupakan tragedi lingkungan dan tidak diperbolehkan terjadi untuk kedua kalinya. Jika PT KA dapat menjauh dengan menghindari keadilan, ini merupakan kejadian yang mengerikan bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dampak selanjutnya, perusahaan serupa akan berani melakukan pengrusakan lingkungan secara ilegal untuk mencari keuntungan jika mereka melihat kesempatan yang baik dapat mempermainkan hukum di Indonesia,” ujar Harli menambahkan.

GeRAM telah melakukan demonstrasi di depan PN Meulaboh terhadap penundaan putusan eksekusi pada 26 Oktober lalu. Salah satu demonstran, Chrisna, menyatakan, “Dua tahun lalu, kita telah memenangkan kasus bersejarah tersebut. Kami merasa frustasi karena sekarang harus berdemo lagi agar pengadilan peduli terhadap proses yang sudah berjalan. Kenapa putusan MA harus ditunda lebih lama. Masyarakat kehilangan hak mereka terhadap lingkungan yang baik dan semakin lama pihak perusahaan tidak melaksanakan restorasi di Tripa, dampaknya semakin besar. Kami hanya ingin keadilan di negeri ini ditegakkan.”

PT KA adalah perusahaan sawit pertama yang menerima denda yang sangat besar akibat pengrusakan lingkungan hidup. Sejak putusan tersebut, ada beberapa perusahaan lain yang juga telah didenda akibat pengrusakan lingkungan, seperti PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Selat Nasik Indokwarsa, namun belum membayarkan denda kepada negara.

“Kerugian negara sebanyak jutaan dolar terus berakumulasi untuk Indonesia sementara perusahaan bebas dari hukuman. Waktu terus berputar untuk kesempatan kita memulihkan kerusakan lahan gambut dan hutan hujan tropis dan bekerja memenuhi target pengurangan emisi karbon”, tutup Fahmi. (*/evi)

 

- iklan -