JAKARTA, ITN- FORUM Wartawan Pariwisata (Forwapar) yang didukung Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menggelar Indonesia Tourism Outlook (ITO) di Ballroom Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta, Rabu (1/11/17).
Indonesia Tourism Outlook yang diikuti sejumlah pembicara dari berbagai kalangan yang kompeten dan terkait dengan sektor pariwisata, antara lain pengamat ekonomi Faisal Basri, Senior Vice-President, Government and Industry Affairs, World Travel and Tourism Council-World Travel & Tourism Council Helen Marano, dan Head of Destination Marketing APAC, TripAdvisor Sarah Mathew ini sebagai upaya untuk menganalisa prospek, peluang, dan mengumpulkan masukan dari berbagai pihak menuju optimisme tercapainya target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019.
“ITO diharapkan dapat menjadi ajang untuk mengetahui dan memprediksi peluang pariwisata di 2018 dan berbagai program pariwisata yang harus digenjot pada tahun depan,” ujar Ketua Forwapar) yang juga inisiator dan penyelenggara ITO, Fatkhurrohim dalam sambutannya.
Forwapar sebagai bagian dari sinergi pentahelix pariwisata menurutnya sangat concern terhadap hal tersebut. “Untuk itu seminar ITO Pariwisata 2018 sebagai ajang berbagi informasi dan diskusi dalam rangka mendorong pertumbuhan pariwisata Indonesia yang berkelanjutan,” ungkap Fatkhurrohim.
“Pariwisata Indonesia memiliki potensi dan prospek yang sangat besar namun tantangannya juga tak kalah besar. Sekurangnya ada tiga big challenges yang dihadapi pariwisata Indonesia ke depan, yaitu enviromental sustainability, digital tourism, dan kelembagaan atau regulasi,” ujar Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya saat menjadi keynote speake sekaligus membuka acara seminar ITO.
Menurutnya ketiganya itu bisa challenge dan mau tidak mau harus dihadapi, apalagi target 18 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada tahun 2018 harus dicapai. Dan untuk menghadapinya dibutuhkan pemikiran, langkah strategis, dan kerja ekstra keras.
Arief mengatakan, “Saya sendiri kadang tak sempat tidur untuk merealisasikan pencapaian itu. Tantangan dalam hal environmental sustainability misalnya destinasi wisata Indonesia masih kerap mendapat sorotan dan kritikan terkait pelestarian”.
“Indonesia dianggap tidak peduli dengan kelestarian alam, buktinya indes daya saing yang mengacu pada standar global, yakni Travel and Tourism Competitive Index atau TTCI menyatakan rapor pariwisata Indonesia dari sisi Environment Sustainability masih berada di peringkat 131 dari 136 negara,” paparnya.
Sementara terkait digital tourism, penerapannya menjadi sebuah keharusan sebagai strategi untuk merebut pasar dalam persaingan gloal. Hal ini dikarenakan kondisi pasar wisata sudah berubah belakangan ini.
“Pariwisata harus Go Digital. Kenapa harus go digital? Karena sekarang ya harus digital. Kalau ga ikut ya berarti kita termasuk orang tua (old style) yang akan ditinggalkan,” ujarnya.
Hampir 63% transaksi jasa travel menurut Menpar dilakukan secara online, jika travel biro tidak segera menyesuaikan diri ke digital atau tetap konvensional maka nasibnya akan seperti wartel, kandas. “Tak ada pilihan, digital tourism menjadi strategi yang harus dilakukan untuk merebut pasar global khususnya pada 12 fokus pasar yang tersebar di 26 negara,” ujarnya lebih lanjut.
Dan yang terakhir, soal regulasi pemerintah. Jumlah regulasi di Indonesia sekarang ini ada 42.000 regulasi, dan itu sangat menyulitkan pengembangan pariwisata. “Jumlah sebanyak itu bukan menurut saya, melainkan hitungan Presiden Joko Widodo sendiri. Kalau pariwisata Indonesia ingin lebih maju, tak ada cara lain selain melakukan deregulasi,” kata Arief Yahya.
Ia mengatakan, “Sampai saat ini sudah tiga regulasi signifikan yang telah diterapkan, diantaranya pemberlakuan visa free, penyederhanaan perizinan yacht atau kebijakan CAIT dan Cruise Cabotage Principle”.
“Untungnya Indonesia memiliki Presiden Joko Widodo yang berkomitmen dan berkonsentrasi di sektor pariwisata, sekaligus menjadikan pariwisata sebagai leading sector sebagai andalan penyumbang devisa negara yang sangat besar,” tambah Arief Yahya.
Pembicara lainnya, Faisal Basri menilai pariwisata menjadi primadona baru buat Indonesia. Faisal Basri memproyeksikan tahun 2018-2019 pertumbuhan outbound lebih tinggi. Untuk meredam fenomena tersebut, Indonesia menurutnya harus melakukan divessifikasi tujuan wisata, dan peningkatan daya tariknya, serta penentuan harga dan keseimbangan outbound-inbound juga harus dilakukan.
Sedangkan Helen Marano juga mengungkapkan hal serupa. Indonesia memiliki potensi pariwisata yang besar namun pekerjaan rumahnya pun banyak, diantaranya bagaimana cara mendistribusikan jumlah traveller agar lebih merata. “Edukasi pelaku pariwisata konvensional yang mengarah ke digital marketing pun perlu dilakukan,” ungkapnya.
Dilanjutkan pembicara Sarah Mathew. Ia menilai potensi dan proyek pariwisata Indonesia dalam setahun terakhir semakin cerah, mengingat ada peningkatan 30 persen traveller yang akan berwisata ke Asia Pasifik termasuk Indonesia.
Diakhir acara ITO yang diikuti 200 peserta dari berbagai kalangan seperti industri wisata, Kemenpar, akademisi, wartawan/blogger, dan lainnya ini dihibur dengan alunan musik gitaris Puguh Kribo yang memainkan alat musik gitar kepala enam saat santap siang. (evi)