JAKARTA, ITN- BERDASARKAN hasil penelitian The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) bersama British Council yang bertajuk Membangun Ekonomi Kreatif dan Inklusif: Profil Usaha Sosial di Indonesia, terdapat 340.000 kewirausahaan sosial di Indonesia dengan kontribusi terhadap perekonomian sebesar 1,9 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Meskipun terbilang masih kecil, namun kewirausahaan sosial menawarkan sarana-sarana inklusif yang dapat mandiri secara finansial untuk mendukung proses pembangunan di Indonesia.
Bank DBS Indonesia sebagai lembaga keuangan yang aktif dan peduli dalam mendukung perkembangan wirausaha sosial di Indonesia menyelenggarakan kegiatan “DBS Social Enterprise (SE) Meet Up”, acara tahunan yang diadakan oleh DBS Foundation untuk mendukung wirausaha sosial di Indonesia.
Acara yang bertajuk Social Enterprise and Its Ecosystem ini bertujuan untuk membangun jejaring antar SE di Indonesia. Jaringan ini akan berguna untuk mengembangkan SE karena belum ada lembaga khusus untuk SE di Indonesia.
DBS SE Meet Up, Bank DBS Indonesia menghadirkan para pakar di bidang wirausaha sosial, antara lain: Executive Director of raiSE Singapore Alfie (Alfie Othman), Founder of School of Concept (Mint Lim), Find Jobs Singapore SE (Stanley Lim), dan CEO of The Bulkstore & Co (Putri Arif Febrila).
Para pakar tersebut membahas diantaranya mengenai ekosistem wirausaha sosial, topik ini banyak dibahas oleh para pelaku wirausaha sosial terutama dalam advokasi pemerintah Indonesia. Ekosistem wirausaha sosial terdiri dari kebijakan, karakteristik geografi, pasar, sumber daya manusia, budaya, dukungan sosial, dan pendanaan keuangan. Upaya ini penting untuk dilakukan karena tidak ada kepastian terhadap manfaat, identifikasi dan lembaga hukum bagi wirausaha sosial. Indonesia tertinggal jauh di belakang banyak negara di Asia terutama ASEAN seperti Thailand dan Singapura terhadap pengakuan akan wirausaha sosial.
Dilanjutkan dengan pembahasan pengukuran dampak, masalah kedua untuk pengembangan wirausaha sosial di Indonesia adalah pengukuran dampak. Jika wirausaha sosial dapat menaklukkan peluang dan tantangan terhadap ekosistem yang ada, maka para pelaku wirausaha sosial perlu menghitung dampak dari bisnis yang dilakukan. Dampak bisnis menjadi sangat penting untuk diketahui oleh publik khususnya pemerintah agar dapat menjadikan wirausaha sosial sebagai prioritas nasional di mana mereka memiliki peran yang signifikan terhadap kinerja ekonomi.
“Bank DBS meyakini bahwa wirausaha sosial memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan inklusi sosial. Kegiatan SE Meet Up pada hari ini agak berbeda karena tujuan utama kegiatan kali ini adalah sesi berbagai atas pengalaman, tantangan dan ekosistem kewirausahaan sosial di Indonesia dan Singapura,” ujar Executive Director, Head of Marketing Communications PT Bank DBS Indonesia, Mona Monika pada acara DBS Foundation Social Meet Up, di DBS Office Capital Place, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/19).
Lebih lanjut Mona mengatakan, “Oleh karena itu, kami juga berharap DBS SE Meet Up dapat menjadi sarana para pelaku wirausaha sosial untuk memperluas jaringan bisnis mereka”.
Menurutnya Bank DBS Indonesia sendiri hingga saat ini telah membina lebih dari 400 wirausaha sosial, seperti Sukkha Citta, Du’Anyam, Mycotech, Waste4Change Waste4Change, dsb.
Du’Anyam, sebuah wirausaha sosial yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, meningkatkan kesehatan ibu dan anak melalui produksi dan pemasaran produk kerajinan anyaman daun lontar di daerah terpencil Indonesia. Sebagai penerima DBSF Grant pada tahun 2017, Du’Anyam bekerja sama dengan hampir 1.000 ibu-ibu penganyam di 50 desa di Flores Timur dan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) serta Nabire, Papua, dan telah berhasil meningkatkan pendapatan mereka sebesar 40%.
Du’Anyam juga telah memasok lebih dari 90.000 produk kerajinan anyaman bagi hotel, perusahaan, maupun pembeli retail di Indonesia dan di mancanegara. Model bisnis wirausaha sosial seperti Du’Anyam dapat menjadi pilihan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) bertransformasi dalam mengembangkan bisnis dan memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitarnya. (sishi)