KUPANG, ITN- Lebih dari 4.000 ribu mahasiswa Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapatkan wawasan nasionalisme dan patriotisme dalam acara “Road to Campus” bersama jurnalis senior Rosianna Silalahi, di Kupang, NTT, Sabtu (4/6/16).
Road to Campus (RTC) merupakan talkshow singkat tentang wawasan kebangsaan yang dikemas dengan sangat interaktif dan menarik ke berbagai Perguruan Tinggi, yang telah dijalankan oleh Djarum Foundation sejak 2007.
Acara ini menutup rangkaian Program RTC 2016 bertajuk “Nasionalisme di Garis Batas” yang telah hadir di tiga universitas berbatasan langsung dengan negara tetangga Indonesia, yakni Universitas Borneo Tarakan (13 Februari 2016) dan Universitas Musamus Merauke (30 April 2016).
Selain Rosiana Silalahi sebagai moderator, bertindak sebagai narasumber pada talkshow di Universitas Nusa Cendana, yakni Aleta Baun (perempuan pahlawan lingkungan dari NTT),
Inayah Wahid (tokoh muda, putri presiden RI ke-4 yang aktif di bidang sosial budaya), dan
Pater Gregorius Neonbasu (peneliti budaya yang juga pakar antropologi).
“Road to Campus hadir sebagai bagian dari komitmen kami memberikan soft skills kepercayaan diri dan wawasan kebangsaan pada kaum muda sebagai bagian dari bangsa yang tangguh berkompetisi di era globalisasi,” ujar Program Associate Bakti Pendidikan Djarum Foundation, Lounardus Saptopranolo disela-sela acara.
Sapto mengatakan, “Kami melihat bahwa daerah perbatasan merupakan muka, atau halaman depan, dari bangsa kita. Kerenanya, kami berharap talkshow ini memberi pandangan agar kaum muda lebih memiliki percaya diri”.
“Anak muda harus bisa membuktikan bahwa cinta kepada bangsa tak bergeming dengan iming-iming bangsa tetangga. Ibarat pekarangan, lihatlah bahwa rumput pekarangan kita, lebih hijau dari halaman tetangga,” ungkapnya.
Sementara pada kesempatan tersebut, Inayah Wahid mengatakan, “Yang pertama anak muda Indonesia dapat lakukan, khususnya mereka di perbatasan, adalah menumbuhkan rasa cinta pada Indonesia. Mensyukuri semua berkah yang sudah kita miliki. Banyak bangsa lain yang tidak memiliki kekayaan seperti yang kita miliki, dan sangat menginginkan apa yang kita punya, sehingga sudah sepatutnya kita bersyukur dan memanfaatkan berkah ini dengan sungguh-sungguh untuk kemajuan bangsa”.
“Apabila rasa cinta dan syukur sudah muncul, maka kita tidak akan fokus pada ‘kemilau tetangga’ lagi, karena kita akan sibuk untuk memberikan yang terbaik buat Indonesia. Kita akan menemukan banyak sekali cara untuk menunjukkan kecintaan kita tersebut lewat apapun yang kita bisa perbuat. Tidak peduli dimana kita berada dan apa pun posisi kita,” ujarnya lebih lanjut.
Inayah mencontohkan, seperti yang dia lakukan melalui organisasi yang didirikannya, Positive Movement. Gerakan yang mengajak kaum muda selalu berpikir dan bertindak positif, mensyukuri apa yang dimiliki, tapi tidak berhenti berbuat sesuatu yang positif yang berguna untuk banyak orang.
“Seperti pesan almarhum Bapak saya, sebaik-baiknya manusia hidup, adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain tanpa memandang latar belakang apapun. Karena mereka semua adalah sama Indonesia, dan lebih luas lagi, sama-sama manusia”, ungkap Inayah Wahid.
Pater Gregorius Neonbasu SVD, menambahkan, “Bangsa kita, yang sangat kaya dan memliki falsafah Bhinneka Tunggal Ika, perlu lebih menekankan ‘bhinneka’ dibandingkan ‘ika’ Saya mengajak kaum muda untuk merevisit, merejuvenate, dan merevitalisasi nilai-nilai luhur kita”.
Aleta Baun, perempuan pahlawan lingkungan dari NTT yang berani melawan perusahaan-perusahaan tambang perusak lingkungan, bahkan hingga mempertaruhkan nyawanya, wujud rasa nasionalisme yang dia lakukan adalah dengan menjaga alam Indonesia, khususnya NTT yang berada di garis luar Indoenesia.
“Batu adalah tulang, air adalah darah. Jika tulang dan darah rusak, maka rusak tubuh kita sebagai manusia. Begitu juga jika batu dan air rusak, maka rusak pula akan kita, Indonesia”, tutup Aleta Baun, yang mendapat penghargaan dunia di bidang lingkungan hidup. (evi)