JAKARTA, ITN- KOPI merupakan salah satu minuman yang populer di seluruh dunia. Tak hanya nikmat, manfaatnya yang mampu membuat orang tetap terjaga membuat kopi hampir selalu dijadikan sebagai solusi bagi mereka yang ingin bekerja hingga larut malam. Selain itu, kopi juga banyak dijadikan sebagai teman untuk menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan orang kesayangan.
Sebagai penikmat kopi, selama ini hanya merasakan sensasi minumnya saja, dan kali ini beruntung Indonesiatripnews.com dapat mengenal lebih dekat tentang kopi dengan mengikuti Coffee Plantation Tour di sela acara Media Gathering Forum Wartawan Pariwisata (Forwapar) dan Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata ke Jalan Losari, Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tepatnya di MesaStila Resort & Spa pada 10-12 Juli 2019.
Sejarah MesaStila sendiri telah dimulai sejak masa kolonial. Dimana pada awalnya hanya sebuah perkebunan kopi yang dikelola oleh bangsa Belanda. Namun, dengan berjalannya waktu MesaStila jatuh kepada pengelola yang lebih melihat potensinya sebagai resort ketimbang perkebunan kopi saja.
Sebelumnya, dikenal sebagai Losari Resort and Coffee Plantation. Namun kemudian diubah nama menjadi MesaStila Resort & Spa. “Di depan pintu masuk MesaStila ada bangunan kayu berwarna kuning, itu dulunya stasiun Kereta Api Mayong Jepara, lalu diboyong dan difungsikan kembali oleh MesaStila sebagai lobby penerimaan tamu. Bangunan kayu tersebut dipindahkan ke MesaStila dengan nama Mayong Losari,” ujar Duty Manager MesaStila Resort & Spa, Yoyok menceritakan sejarah awal perkebunan kopi di MesaStila.
Lebih lanjut Yoyok menceritakan bangunan stasiun tersebut dipindahkan dengan 41 mobil truk, 90 persen bangunannya masih asli zaman Belanda, hanya sedikit kayu yang diperbaiki serta pintu yang diubah.
“Sementara The Club House yang dijadikan sebagai lobi utama MesaStila dan berdiri pada tahun 1928 dahulu adalah rumah sekaligus kantor pengelola perkebunan kopi masa kolonial dan hingga kini masih berdiri kokoh, tak banyak yang diubah,” ungkapnya.
Bangunan tersebut berdinding batu berwarna putih dan disangga dengan pilar-pilar besar pada sekeliling terasnya. Sedangkan 23 villa yang tersebar pada areal resort dan perkebunan kopi seluas 22 hektar tersebut, dibangun dari memindahkan rumah-rumah kayu berarsitektur tradisional (rumah Joglo) yang tersebar di tanah Jawa.
Segar, sejuk, nyaman, damai, dan romantis dirasakan saat kaki ini sampai di The Club House. Banyak pepohonan, puluhan jenis bunga, dan tujuh pemandangan gunung yang terlihat, seperti Telomoyo, Sindoro, Ungaran, Sumbing, Perahu, Merapi, Andong, dan Merbabu.
Selain dengan alam, MesaStila yang menyatu dengan tradisi masyarakat memiliki nilai lain saat berada di sini. Bagi tamu asing khususnya konsep ini sangat menarik dan memberi kesan sampai kelak kembali ke negaranya.
Setelah meceritakan sedikit tentang MesaStila Resort & Spa, Yoyok membuka tur dengan menjelaskan beberapa varian kopi yang ditanam di MesaStila.
“Di sini kami memiliki empat jenis tanaman kopi, yakni Robusta, Arabica, Jawa, dan Excelsa. Namun, karena sifat tanaman dan ketinggian MesaStila, maka jenis Robusta yang menjadi unggulan kami,” ungkapnya.
Dalam perjalanan Yoyok menunjukkan empat jenis daun yang berasal dari kopi-kopi tersebut, dan menjelaskan cara membedakannya berdasarkan ukuran. Dengan urutan lebar yang terbesar hingga yang paling kecil, yakni Exelsa, Robusta, Jawa, dan Arabica.
Yoyok mengatakan, “Jika tumbuh secara liar, tanaman kopi dapat mencapai tinggi sekitar enam hingga tujuh meter. Namun di MesaStila, sengaja menjaga tingginya hingga maksimum dua meter saja. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses pemanenan”.
“Kami juga bereksperimen dengan menyambungkan pohon kopi robusta dan arabica, di stek. Bawahnya robusta dan atasnya arabica,” ungkapnya.
Area perkebunan kopi MesaStila juga ditumbuhi oleh ratusan tanaman peneduh produktif yang melindungi kopi dari paparan langsung sinar matahari. Yang dimaksudkan untuk melindungi biji kopi serta untuk menjaga kualitasnya. “Disini juga ditumbuhi pohon durian, ada 80 pohon durian,” ungkapnya.
“Kami hanya memanen kopi setahun sekali, yang biasanya dilakukan sekitar akhir bulan juli dan September, pada awal musim panas, 97 persen kopi dipanen ketika buah kopi sudah berwarna merah. Hal itu menyebabkan kopi yang dihasilkan terasa lebih nendang di lidah, dibandingkan dengan kopi yang dihasilkan oleh perkebunan lain. Karena proses fermentasi alami yang terjadi jauh lebih sempurna,” ujarnya lebih lanjut.
Untuk menghasilkan kopi organik berkualitas tinggi, perkebunan kopi ini juga memproduksi sendiri pupuk kompos untuk menjaga kesuburan area perkebunan.
Tak lengkap rasanya mengunjungi kebun kopi jika tak mencicipi hasil panennya. Maka setelah kurang lebih setengah jam berkeliling area kebun kopi MesaStila, sampailah pada sebuah area pemrosesan hasil panen.
Yoyok pun kembali menjelaskan lebih jauh tentang proses pengeringan, pengupasan kulit, penyimpanan di gudang, hingga penyangraian, dan penggilingan biji kopi menjadi bubuknya yang siap seduh.
Rupanya untuk dapat menghasilkan kopi yang sedap dan berkualitas tinggi, diperlukan sebuah perjalanan panjang karena setelah pengeringan diperlukan penyimpanan dalam gudang dengan waktu yang lama untuk mencapai fermentasi yang optimum sebelum penyangraian dan penggilingan.
Perjalanan ke kebun kopi pun berakhir dengan mencicipi rasa biji kopi. “Silahkan dicoba, dikunyah biji kopinya. Kalau pahit bisa dicampur gula aren, tapi menurut saya kopi lebih nikmat tanpa gula,” ujar Yoyok menawarkan biji kopi yang baru saja selesai di sangrai. (evi)