- iklan -

JAKARTA, ITN- TRADISI mudik Lebaran atau pulang kampung di Indonesia  benar-benar menjadi satu hal yang “wajib” buat para perantau di kota-kota besar.  Ada kebanggaan tersendiri bagi perantau untuk pulang kampung menjelang Lebaran, setelah satu tahun bekerja. Begitu pula bagi orangtua, sanak keluarga, handai tolan, dan sahabat di kampung halaman akan merasa senang jika ada yang pulang kampung. Apalagi satu tahun satu kali. Karena itu, apapun akan dilakukan agar bisa mudik.

Sebagai orang yang berasal dari kampung di Jawa Timur dan mencari nafkah di Jakarta lebih dari 40 tahun, saya juga mengalami hal itu. Pada hari-hari puasa Ramadhan seperti saat ini, persiapan mudik Lebaran sudah dilakukan. Berbagai oleh-oleh dari Jakarta telah dibeli. Kopor dan tas besar pun sudah siap. Tiket kereta api juga diburu, sehingga pulang kampung sesuai harapan.

Berbeda dengan dewasa ini angkutan kereta api yang sudah sangat tertib, dulu orang yang akan menggunakan moda transportasi kereta api harus berjibaku dan terpaksa “melawan” ribuan orang yang tujuannya sama: mudik Lebaran. Stasiun kereta api pasti sudah penuh dengan manusia. Kopor, tas-tas, bungkusan, dan bawaan menyertai mereka yang akan mudik.

Jakarta-Solo Berdiri di Pintu Kereta Api (Cerita Mudik Lebaran-1)
foto.ist

Belum adanya  AC pada gerbong kereta api membuat suasana semakin sumpek. Begitu kereta api masuk ke jalurnya di stasiun, para calon penumpang berebut masuk ke dalamnya. Teriakan dan tangis anak-anak kecil yang tergencet sesama calon penumpang membuat suasana semakin panas.  Karena itu tidak heran jika ada pemandangan orang yang mau pulang kampung harus menaikkan anaknya melalui jendela kereta api. Di dalam kereta api pun tidak kalah sumpeknya. Bangku dipastikan tidak ada yang kosong.  Bahkan ruang WC-pun  ditempati untuk penumpang. Pulang kampung menjelang Lebaran benar-benar memerlukan suatu perjuangan.

Tahun-tahun ’80-an, saya merasakan pengalaman menyedihkan. Waktu itu saya mau mudik naik kereta api dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, pada sore hari.  Dalam keadaan  masih puasa, saya berada di tengah ribuan masyarakat yang akan naik kereta api. Satu kopor besar yang berisi pakaian dan oleh-oleh “menemani” saya. Ketika kereta api datang, para penumpang langsung “menyerbu”-nya. Saya juga berusaha naik ke dalam kereta, tapi karena membawa kopor; saya mengalami kesulitan. Gerbong kereta api benar-benar penuh sesak. Menjelang kereta berangkat, saya hanya bisa naik di pintu kereta yang tidak bisa ditutup. Saya bersama beberapa orang penumpang terpaksa berdiri di tempat sempit itu.

Kereta api pembawa para pemudik Lebaran itu mulai meninggalkan Stasiun Gambir. Entah karena capek, kepanasan, dan juga kehausan; tiba-tiba pandangan mata saya terasa gelap. Untungnya di kantong celana ada minyak angin. Minyak angin yang saya oleskan di hidung,   menyadarkan saya dan bisa melihat kembali. Saya masih merasa bersyukur karena tidak jatuh dari kereta api yang terus melaju. Ketika kereta api berhenti di suatu stasiun, saya baru bisa berbuka puasa. Itupun hanya minum “Fanta” yang dijajakan pedagang asongan.

Stasiun demi stasiun disinggahi kereta api yang membawa saya menuju Surabaya. Suasana malam yang gelap dan angin kencang menyertai perjalanan panjang itu. Sebagian penumpang ada turun di stasiun tujuan, sehingga saya dan beberapa penumpang yang semula berdiri di pintu kereta api bisa masuk ke dalam. Ketika kereta api berhenti agak lama di Solo, saya turun dan membeli nasi bungkus. Saat itulah saya bisa berbuka puasa.

Di stasiun itu juga saya tidak sengaja bertemu dengan teman yang juga akan pulang ke kampung halaman yang sama. Untuk kesekian kalinya saya mengucapkan syukur alhamdulillah, karena di gerbong yang dinaiki teman saya itu ada bangku kosong; jadi saya baru bisa duduk setelah berdiri di pintu kereta api dari Jakarta hingga Solo. (A Basori)

- iklan -