JAKARTA, ITN- Sudah bertahun-tahun jalur jalan antara Ciawi-Sukabumi di Jawa Barat macet. Kemacetan itu kian parah pada hari-hari raya ketika banyak masyarakat yang akan mudik. Jika dulu jalan sepanjang kurang lebih 70 Km itu bisa ditempuh 2 jam, pada hari raya harus ditempuh minimal 5 jam.
Kemacetan selain disebabkan oleh jalanan yang penuh oleh kendaraan pribadi dan angkutan umum juga oleh kondisi jalan yang kerap rusak. Oleh karena itu masyarakat berharap rencana pemerintah membangun jalan tol segera bisa diwujudkan.
Reporter IndonesiaTripNews.Com, Lebaran hari kedua berangkat ke Sukabumi. Dari Bogor naik kendaraan “omprengan” jenis L-300 sekitar pukul 08.00 WIB. Seperti biasa, kendaraan gaek itu dinaiki 16 orang termasuk sopir. Jadi tiap baris bangku diisi empat orang.
Kendaraan angkutan yang jumlahnya sangat banyak itu oleh masyarakat setempat dijuluki “setan jalanan” atau “raja jalanan”. Karena memang sopirnya tidak boleh melihat jalanan yang lowong sedikit. Kadang kendaraan melaju di bahu jalan di pinggir paling kiri atau kanan di antara deretan kendaraan yang terjebak kemacetan berkilo-kilometer. Penumpang pun dibuat terguncang-guncang di dalam kendaraan non-AC itu. Mulutpun komat-kamit merapal doa.
Karena jalur jalan yang macet itu pula, ongkosnya jadi naik. Yang biasanya Rp25.000/penumpang menjadi Rp35.000, bahkan Rp40.000/penumpang. Penumpang yang protes tak diindahkan oleh sang pengemudi. “Macet pak. Ini juga lebaran,” katanya.
Karena pagi itu jalanan via Ciawi dikabarkan sudah macet, L-300 yang dinaiki IndonesiaTripNews.Com banting stir balik ke arah Bogor. “Kita lewat Cihideung saja,” ujar sopir.
Dari situlah blusukan dimulai. Ternyata tidak sedikit kendaraan pribadi yang melalui jalan alternatif itu. Di sepanjang perjalanan di pedesaan, banyak masyarakat yang menadahkan kaleng minta sumbangan untuk penambalan jalan. Memang di sepanjang jalan yang ditapaki L-300 terlihat banyak lubang yang diuruk oleh masyarakat agar rata. Pengemudi hanya mengangkat tangan jika ada masyarakat yang menadahkan kaleng kosong. “Maaf,” ucapnya sembari tersenyum. Jalanan yang belum diaspal juga dilalui oleh kendaraan bandel itu. Suara mesin terdengar mengeras, karena jalanan tidak rata.
Pengemudi hanya memberikan uang ketika kendaraan akan masuk kembali ke jalan raya. Itupun menyodorkan uang lembaran Rp2.000 dan meminta kembalian Rp1.000. Mitsubishi itu keluar di jalan raya sebelum Pasar Cicurug. Padahal biasanya keluar Cigombong. “Ini jalur tikus yang paling cepat,” jelas pengemudi yang sudah tahu persis jalan-jalan “tikus”.
Nah di jalan raya inilah, pengemudi menunjukkan kehebenannya mengendarai kendaraan. Tak jarang mobil terguncang keras karena berada di bahu jalan berbatu atau tiba-tiba mobil berada di paling kanan kendaraan yang mengular. Padahal kendaraan sudah lapis dua. Akibatnya kendaraan arah depan sering harus beradu “banteng”. Sumpah serapah pengemudi dari arah depan sering terdengar. “An***g siah,” teriak pengemudi mobil pribadi sambil membuka kaca jendelanya. “Siah rajanya,” balas si sopir.
Tak hanya pengemudi mobil pribadi yang marah kepada mobil “setan jalanan” ini, tapi pengendara sepeda motor juga marah dengan menggeber-geber gas sepeda motornya.
Antrean panjang mobil terus mengular di jalan raya menuju Sukabumi. Ketika kendaraan L-300 ini kembali terjebak kemacetan di Parung Kuda, tanpa ba-bi-bu, sopir membelokkan kemudi kendaraan ke kanan. Blusukan kembali dilakukan. “Ini ke arah mana pak? Saya mau turun di Cibadak,” teriak seorang penumpang ketika mengetahui kendaraan menuju ke arah Parakan Salak. “Tenang wae ibu, nanti juga sampai ke Cibadak,” jawab sopir. Benar saja mobil angkutan ini masuk kembali jalan raya sebelum Cibadak.
Jalan di Jembatan Pamuruyan, Cibadak yang berbatu-batu menyebabkan seluruh kendaraan tidak bisa melaju dengan cepat. Keadaan itu pula yang memiliki andil kemacetan.
“Nah dari sini sudah gak ada lagi macet,” kata pengemudi ketika kendaraan tiba di pertigaan Cibadak arah jalan ke Pelabuhan Ratu.
Setelah lima jam perjalanan dari Bogor, akhirnya L-300 yang legendaris itu memasuki terminal baru di daerah Cisaat. Untuk menuju ke Kota Sukabumi masyarakat masih harus naik angkutan kota dua kali atau tiga kali dengan ongkos Rp4.000/penumpang pertrayek.
“Saya hari ini gak narik lagi ke Bogor. Nggak sanggup macetnya,” keluh pengemudi sembari mengisap rokok kreteknya.
Masyarakat berharap agar pemerintah menaruh perhatian terhadap jalan Ciawi-Sukabumi. Karena di Sukabumi dan sekitarnya banyak destinasi wisata yang layak dikunjungi masyarakat. Bus-bus yang melayani jalur itu menuju Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur dan sebaliknya agar ditingkatkan kualitasnya dengan bus-bus ber-AC. (ori)