JAKARTA, ITN- MAJALAH MIX MarComm, media untuk para professional dan marketing & communication enthusiast, dari SWA Media Group pada anniversary yang ke-15 menggelar talkshow bertema “Industri Ritel Indonesia di Era Disrupsi di Jakarta, Kamis(28/2/19).
Pada perayaan anniversary majalah MIX MarComm dan peluncuran kembali komunitas pembaca #MIXMarcommunity ini mengundang pakar dan praktisi dari ritel konvensional Consumer Behavior Expert, Board Expert Aprindo dan Hippindo, Yongky Susilo dan ritel online Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.ID, Teddy Aridinanto dengan dimoderatori Eny Wibowo, jurnalis dari portal HidupGaya.com yang juga seorang shopper sejati.
Talkshow yang dihadiri 50 jurnalis bisnis di Indonesia, 50 praktisi Marketing Communication (MarComm), dan Corporate Communication (Corcomm) Indonesia ini Yongky Susilo membahas perkembangan industri ritel secara makro yang kontribusinya sangat penting kepada perekonomian Indonesia, yaitu sebagai pendukung utama konsumsi masyarakat (variabel C dalam formula GDP Indonesia). Menurut Yongky, 56% pertumbuhan perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi penduduk Indonesia. Jadi, katanya, total pasar ritel yang bertumbuh pesat, memberikan dampak positif pada stabilitas harga, nilai tambah, dan keuntungan bagi semua stakeholder (konsumen, pedagang, dan produsen).
Menyadari perannya yang sangat strategis, Yongky menekankan pentingnya membangun ekosistem ritel yang berkelanjutan, terutama untuk menghadapi perubahan lansekap industri akibat disruption teknologi digital.
“Kita perlu membangun daya saing dan daya pikat terhadap persaingan dengan ritel regional dan global sehingga pada 2050 nanti kita bisa menjadi negara dengan perekonomian kelima terbesar dan pemain ritel yang berkontribusi signifikan,” ungkapnya lebih lanjut.
Yongky juga menekankan pentingnya regulator membuat rambu-rambu untuk menciptakan ekosistem ritel yang sehat dan adil bagi seluruh pemangku kepentingan (konsumen, pedagang, dan produsen). “Sehingga setiap format ritel, yaitu hipermarket, supermarket, minimarket, toko kelontong, warung, rombong rokok, dan tidak terkecuali ritel online, dapat berevolusi dan survive pada era disruption ini,” katanya.
Menurut Yongky, model bisnis para peritel sangat menentukan daya adaptasi mereka untuk berevolusi menghadapi disruption. “Model bisnis ritel adalah menjual untuk mencari untung. Dan untuk mencari untung diperlukan kreativitas untuk menawarkan kemudahan dan pemenuhan bagi emosi dan loyalitas konsumen,” tuturnya.
“Perang harga hanya akan membawa sengsara,” pesannya mengomentari fenomena perang harga yang marak digunakan peritel saat ini.
Sementara itu, Teddy Arifianto, profesional yang berada di industri ritel online mengakui bahwa dalam 1-2 tahun terakhir ini terjadi pergeseran perilaku konsumen di mana e-commerce (ritel online) menjadi katalisatornya.
“Di JD, kami menyebutnya sebagai ‘boundry-less’ retail yang berarti konsumen menginginkan pengalaman yang seem-less atau tidak membedakan antara online dan offline, karena persinggungan antar platform ini pada hakikatnya adalah dilakukan untuk meningkatkan pengalaman si konsumen itu sendiri saat berbelanja,” ujarnya.
Teddy menekankan bahwa peran inovasi teknologi yang berorientasi pada konsumen (consumer-driven technology) menjadi salah satu kunci penting untuk menghadapi perkembangan industri ritel masa depan. (evi)