JAKARTA, ITN- Setelah dilanda kemarau yang cukup panjang, Indonesia kembali diguyur hujan, tak terkecuali Daerah Ibukota Jakarta.
Hujan yang seharusnya menjadi “tamu” yang ditunggu dan didoakan kedatangannya, justru menjadi malapetaka. Seperti di Kelurahan Bidara Cina dan Kampung Melayu misalnya, yang notabene dilewati sungai Ciliwung harus merasakan limpahan air yang luar biasa merugikan.
Tercatat dari data kelurahan yang bersangkutan ada ratusan kepala keluarga yang terkena dampaknya, terutama mereka yang tinggal tak jauh dari tepi sungai.
Di sisi lain, banjir itu pula yang menjadikan masyarakat Jakarta bersatu yang sebelumnya terkoyak akibat Pilkada dan pilpres yang lalu. Tak peduli siapa yang memberikan dan menerima bantuan, semua sama atas nama kemanusiaan.
Melihat kondisi masyarakat Jakarta yang menjadi korban banjir, Ir Trisno Eddy bersama
Umat Gereja Katolik Keluarga Kudus Rawamangun dan GP Anshor Jakarta Timur pada 5 Januari lalu ikut terjun langsung memberikan dukungan korban banjir di Kelurahan Bidara Cina dan Kampung Melayu.
“Sekalipun ada perbedaan diantara kami, namun kami merasakan kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan persaudaraan dalam suasana tersebut. Di sana kami melihat sendiri bekas banjir yang mencapai tembok rumah setinggi empat meter,” ujar Trisno.
Sementara Asep, warga Bidara Cina RT 01/RW 07, mengatakan, “Banjir semacam ini bukan kali pertama yang kami alami”.
Menurut Asep, warga yang tinggal di daerah Bidara Cina RT 01/RW 07, banjir semacam ini bukan kali pertama yang di alami. Pria yang semenjak 1986 tinggal tak jauh dari Ciliwung ini merasakan hal yang serupa di tahun 1996, 2007, dan 2014. Dia mengaku harus memulai semua dari awal, pasalnya hanya keluarga, surat-surat, dan kendaraan bermotor yang bisa diselamatkan. Sisanya dia pasrahkan terbawa arus air.
“Memang hujan bukanlah biang keladi dari permasalahan pelik banjir Jakarta, dan memang tidak perlu dipersalahkan, namun ada faktor lain berupa pemicu langsung maupun tidak langsung yang mendorongnya,” ungkap Trisno menambahkan.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Kunjungan ke tempat banjir itu pulalah yang memberikan kami inspirasi dan mungkin dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak yang berwenang. Kami menyaksikan bagaimana penyelesaian permasalahan banjir masih sebatas penundaan. Sebagaimana contoh tanggul-tanggul yang terbuat dari karung berisikan pasir yang terpasang dapat dengan mudah sobek oleh derasnya putaran air dan sampah yang melewati Ciliwung yang berkelok-kelok”.
“Puji Tuhan berkat kemajuan ilmu pengetahuan manusia dan teknologi kita dapat dengan mudah mengetahui gambaran Ciliwung. Melalui peta di internet tergambar peta sungai Ciliwung yang berkelok terutama di daerah Bukit Duri. Karena kelokan itu pula sedimentasi yang terbawa air sungai menumpuk dan membentuk ‘leher botol’. Setelahnya, dapat diduga, air tidak dapat berjalan dan menciptakan genangan atau bahkan banjir. Imbasnya penduduk sekitar yang harus menanggung air yang tidak mengalir itu,” ungkapnya.
Menurutnya hal itu menjadi masalah yang bukan sementara tentunya, tetapi sudah menahun.
“Melalui pengamatan peta, kami mendapatkan inspirasi, yakni untuk memotong kelokan yang selama ini jadi masalah. Pelurusan Ciliwung dapat dilaksanakan dengan dua metode, yakni dengan membuat sodetan terbuka seperti yang pernah dibuat, atau membuat terowongan besar untuk membelokan saluran air dari lokasi tersebut,” papar Ketua Tim Relawan IT Depsos tsunami Aceh 2004 ini.
Pelurusan Ciliwung memberikan manfaat berupa aliran air sungai yang lancar. Memang akan selalu ada sedimentasi yang tertinggal, namun menurut Trisno setidaknya tidak menciptakan pendangkalan sekaligus penyempitan yang cepat akibat kelokan sungai.
Untuk kelokan sungai yang sudah tidak dilewati air dapat ditinggikan atau diratakan untuk dimanfaatkan sebagai lahan relokasi. Sehingga, apabila pemerintah hendak mengambil solusi tambahan seperti penertiban warga bantaran sungai dapat memanfaatkan tanah tersebut.
Merelokasi penduduk selalu menjadi opsi terakhir dan jelas paling “pahit” yang harus ditanggung siapa pun, baik warga maupun pemerintah. Warga tersebut dari komunitas tempat mereka menciptakan simpul-simpul budaya, sosial, dan ekonomi. Hingga pada akhirnya pemerintah juga yang harus menanggung ongkos-ongkos sosial yang mungkin timbul dari sana.
“Maka, sebagai warga negara yang perduli, kami memohon kepada pemerintah apabila harus memilih pilihan ‘pahit’ untuk merelokasi sebaiknya melakukan urung rembuk. Yakni untuk memastikan pemindahan tersebut sesuai dengan ‘ekosistem’ sebelumnya, meski penyesuaian pasti akan selalu ada,” ujarnya.
Menurutnya, pengalaman panjang sebagai konsultan Sistem Informasi Manajemen telah banyak membantu mempelajari masalah-masalah yang pelik, unik, dan solusinya. Singapura contohnya, rumah tapak sudah digantikan apartemen/rumah susun. Di sana pintu sengaja diciptakan dengan dua lapis, lapis pertama dibuat seperti teralis sehingga terbuka dan memudahkan komunikasi dan interaksi penghuninya. “Ini sangat cocok untuk rumah susun di Indonesia. Jika harus relokasasi saya yakin banyak yang mengharapkan agar mereka tetap ingin berkumpul seperti posisi rumah mereka semula,” jelasnya.
Akan ada seribu satu solusi lain yang mungkin bermunculan dari warga biasa Jakarta yang peduli seperti saya. Namun, solusi akan tetap sebagai teori apabila tidak ada itikad baik sekaligus keberanian dari pihak yang berwenang untuk membereskan permasalahan banjir di Jakarta.
Memang kami akui banjir Jakarta sudah menjadi problematika dua abad lampau. Begitu setidaknya yang dikatakan buku Sejarah. Namun, apakah itu berarti menjadi suatu yang alami dan tidak dapat diatasi ? Saya rasa tidak. Buku sejarah juga selalu mencatatkan bahwa Bangsa Indonesia selalu mampu menghadapi segala tantangan yang datang, apakah itu kolonialisme, krisis pangan, ekonomi, disintegrasi, pemberontakan dan sebagainya. Masa sih sekadar banjir yang notabene hanya air kita tidak lulus? tutupnya. (evi)