JAKARTA, ITN- MENYAMBUT tahun 2019 merupakan tahun yang istimewa bagi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), karena merupakan tahun terakhir perjalanan dalam mewujudkan visi mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman).
Lalu apa strategi yang akan dijalankan Kemenpar di penghujung perjalanan tahun depan? Berikut pernyataan Menteri Pariwisata, Arief Yahya yang disampaikan pada acara Jumpa Pers Akhir Tahun (JPAT) 2018 yang berlangsung di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata Jakarta, Kamis (20/12/18).
Kalau tahun ini Kemenpar berhasil meraih target 17 juta wisman, maka diperlukan senjata pamungkas untuk meraih 3 juta wisman, agar tercapai 20 juta wisman. “Ada tiga senjata pamungkas 2019, yakni Ordinary, Extra Ordinary, dan Super Extra Ordinary,” ungkap Menpar Arief Yahya.
Program Ordinary, menurut Menpar merupakan program-program yang sudah sukses dijalankan (business as usual) berupa program promosi BAS (Branding, Advertising, Selling) dengan continuous improvement secara dinamis mengubah komposisi BAS-nya sesuai dengan prioritas target yang ditetapkan.
Kedua, Extra Ordinary yang diluncurkan tahun 2018 yaitu Incentive (Airlines), Hot Deals, dan Competing Destination Model (CDM). Ketiganya disingkat IHC. Program ini menggunakan cara-cara baru yang breakthrough dan inovatif.
Hot Deals misalnya, menerapkan konsep sharing economy, yaitu menjual barang atau jasa yang tidak laku atau excess capacity dengan memberikan diskon pada unsur 3A (Aksesibilitas, Atraksi, dan Amenitas) sehingga menarik bagi wisatawan.
Sementara CDM adalah metode baru pemasaran yang mengombinasikan kemampuan machine learning, Analisa big data, dan penerapan contextual advertising yang sangat presisi untuk menarget wisatawan.
Ketiga Super Extra Ordinary, kata Menpar Arief Yahya, sebagai program istimewa yang sengaja disimpan untuk menjadi senjata pamungkas dalam mewujudkan target akhir 20 juta wisman.
Menpar Arief Yahya menjelaskan, program super extra ordinary akan dijadikan sebagai senjata pamungkas dalam mewujudkan target akhir 20 juta wisman tahun depan. Super extra ordinary mencakup tiga program; border tourism, tourism hub, dan low cost terminal (LCT). Strategi tahun depan merupakan bauran dari tiga program yakni; ordinary, extra ordinary, dan super extra ordinary.
“Border tourism harus kita seriusi di tahun depan karena merupakan cara efektif untuk mendatangkan wisman dari negara-negara tetangga,” ungkapnya.
Pertama karena wisman dari negara tetangga memiliki kedekatan (proximity) secara geografis sehingga wisman lebih mudah, cepat, dan murah menjangkau destinasi kita. Kedua, mereka juga memiliki kedekatan kultural/emosional dengan kita sehingga lebih mudah didatangkan. Ketiga, potensi pasar Border Tourism ini masih sangat besar baik dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, PNG, maupun Timor Leste.
Untuk program tourism hub sebagai strategi “menjaring di kolam tetangga yang sudah banyak ikannya”. Maksudnya, wisman yang sudah berada di hub regional seperti Singapura dan Kuala Lumpur ditarik untuk melanjutkan berlibur ke Indonesia.
“Salah satu persoalan pelik pariwisata kita adalah minimnya direct flight dari originasi. Direct flight kita misalnya dari originasi China mencapai 50%, artinya 50% sisanya masih transit dari Singapura, Kuala Lumpur, atau Hong Kong. Sementara negara tetangga seperti Thailand atau Malaysia direct flight-nya sudah mencapai 80%. Mendatangkan direct flight dari originasi bukanlah hal gampang. Saya minta direct flight dari India ke Bali tiga tahun nggak dikasih. Akan jauh lebih mudah jika kita “menjaring” di hub-hub regional yang sudah banyak wisatawannya,” kata Arief Yahya.
Menpar Arief Yahya mengestimasikan jumlah orang asing yang masuk via bandara Singapura (selain orang Indonesia) selama 12 bulan terakhir hampir mencapai 12 juta pax (rinciannya: 32% dari ASEAN minus Indonesia; 22% dari China-Hong Kong; 17% dari Asia-Pasifik; 14% dari Asia Tengah, MEA, Afrika; dan sisanya dari Eropa dan Australia). Sementara wisman ke Indonesia yang transit di bandara Singapura jumlahnya tidak sampai 700 ribu. Artinya peluang untuk menggaet wisman yang jumlahnya sekitar 11 juta lebih itu masih terbuka luas.
Sementara itu untuk program low cost terminal diterapkan tahun depan. Selama ini kita salah memilih vehicle untuk konektivitas udara, dimana kita harus tumbuh tinggi tetapi lebih banyak menggunakan vehicle yang tumbuhnya rendah. Wisman yang datang ke Indonesia tahun 2017 lebih dari 55% menggunakan Full Service Carrier (FSC) dan sisanya menggunakan Low Cost Carrier (LCC). Namun, ternyata pertumbuhan FSC rata-rata hanya 12% jauh di bawah LCC yang tumbuh rata-rata 21% per tahun.
LCC menurut Menpar Arief Yahya adalah senjata ampuh untuk mendorong pertumbuhan jumlah wisman, dimana maskapai berbiaya rendah ini menyumbang kontribusi peningkatan kunjungan wisman sebanyak 20%. Untuk mendorong pertumbuhan LCC, Indonesia harus mempunyai Low Cost Terminal (LCT). Saya tegaskan bahwa LCT merupakan salah satu penentu utama keberhasilan target kunjungan 20 juta wisman pada tahun 2019.
Lebih lanjut Menpar menambahkan, “Saat ini bandara yang paling siap dikembangkan menjadi LCCT adalah Terminal 1 dan 2 Soekarno-Hatta. Nantinya Terminal 1 diarahkan menjadi full LCCT penerbangan domestik, sedangkan Terminal 2 full LCCT untuk penerbangan domestik dan internasional. Di samping itu Bandara Banyuwangi juga sedang dikembangkan menjadi LCCT setelah melalui berbagai proses pembenahan”. (evi)