JAKARTA, ITN- Berkat keuletan dalam usaha yang dijalani bersama suami selama 16 tahun, telah menunai hasil menggembirakan. Usaha yang ditekuni oleh Ny Surani Suhirta benar-benar dilakukan dari bawah. Itu diawali pada tahun 2005. Seperti suaminya yang seorang tentara, Ny Surani Suhirta tidak mengenal kata menyerah. Apalagi rasa malu. Yang penting dirinya memeroleh rezeki halal dari hasil usahanya.
Seperti biasa, ketika hari masih gelap dan kumandang adzan sholat Subuh baru selesai terdengar; Serma Laut (SBA) Suhirta yang bertugas di Posal Sadeng, Gunung Kidul, DIY mengendarai sepeda motor tua membonceng istrinya, Ny Surani Suhirta. Mereka berdua menuju Pasar Argosari, Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Di pasar itu Ny Surani Suhirta, secara lesehan berjualan otak-otak ikan tuna hasil olahannya. Sementara suaminya pulang untuk memersiapkan diri menuju ke tempat tugas.
Setiap pagi –Bu Hirto– nama panggilan Ny Surani Suhirta tanpa rikuh berjualan di pasar itu. Sebanyak 200 potong otak-otak dijualnya dengan harga Rp1.000/potong. Sekitar pukul 06.30 WIB, otak-otak yang digemari masyarakat itu habis terjual dan dia pulang ke rumah, di Mulyosari, Baleharjo, Wonosari, Gunung Kidul, akhir pekan lalu. “Yang penting kami berdua bisa mendapatkan rezeki halal untuk keluarga dengan berjualan otak-otak ikan tuna,” ucapnya kepada indonesiatripnews.com yang meninjau tempat usahanya.
Berjualan secara lesehan di pasar selama satu tahun diakui oleh Bu Hirto untuk menambah penghasilan keluarga, apalagi kedua puterinya harus melanjutkan pendidikan yang memerlukan biaya tidak sedikit. Itu awal usaha yang dirintis Suhirta dan istrinya. Dengan berbagai inovasi dan olahan tangan yang piawai, kini Bu Hirto menjadi salah satn pengusaha sukses dan memberikan manfaat kepada anggota masyarakat.
Bu Hirto mengawali usahanya dari mengolah dan memasarkannya sendiri hasil olahannya. Tidak saja menjual hasil olahan ikan tunanya di pasar, eyang tiga cucu itu pada sore hari tidak segan-segan berkeliling Baleharjo dan kampung-kampung lain menjajakan otak-otak ikan tuna dengan menggowes sepeda atau naik sepeda motor suaminya. Itu dijalaninya selama tiga tahun.
Setelah merasa hasil olahan ikan tunanya semakin digemari masyarakat, terpikir oleh Ibu Hirto untuk menambah jenis olahannya dan “go public”, maka terlahirlah tahu ikan tuna, kaki naga ikan tuna, bakso ikan tuna, keong pansel ikan tuna, abon ikan tuna, keripik ikan tuna, dan rumput laut krispi. Hasil produksinya kemudian diberi label “Olahan Ikan Tuna Bu Hirto”. Berkat usaha dan keuletannya itu, Bu Hirto meraih banyak piagam penghargaan dan sertifikat.
Pemberian piagam penghargaan itu kian memacu semangat lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1983 itu untuk mengembangkan usahanya. Apalagi tahun 2016 suaminya pensiun dari TNI Angkatan Laut –dengan pangkat Peltu setelah menjabat Komandan Posal Sadeng— membuat Bu Hiro makin ulet dan kreatif menekuni usahanya. Bendera “Olahan Ikan Tuna Bu Hirto” kian berkibar dan dikenal masyarakat. Pemerintahpun, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul dan Pusat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Gunung Kidul; dan Kementerian Perdagangan melirik dan mendampingi proses produksi dan pemasaran hasil olahan ikan tuna Bu Hirto. Sertifikat demi sertifikat diraih usahanya, seperti Sertifikat Halal, Sertifikasi Produk Standar Nasional Indonesia, Sertifikat dari KKP untuk menyukseskan Program Gerakan Masyarakat Makan Ikan, dan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan kandungan dalam olahan ikan tuna layak untuk dikonsumsi.
Ketika pangsa pasar semakin terbuka, ia menitipkan hasil produksinya di toko oleh-oleh dan rumah-rumah makan. Kemudian berlanjut pada kegiatan-kegiatan pameran dan bazaar, baik tingkat kabupaten atau provinsi. Itu dilakukan sesuai undangan dari instansi yang menggandengnya.
Produk-produk hasil olahannya juga dijual di rumahnya dan membuka toko di Yogyakarta, Tegal, dan reseller, COD, serta online (WA, IG, FB, Gerbang Pak Probo, Si Bakul Jogja, dan lain-lain). “Pada masa pandemi ini pesananan via online meningkat,” kata Bu Hirto.
“Produk olahan ikan tuna kami sama sekali tidak menggunakan bahan pengawet. Agar produk kami bisa tahan lama, kami bekukan di lemari pendingin pada suhu minus 10 derajat yang bisa bertahan enam bulan, jika di ruangan terbuka hanya bertahan dua hari,” jelas Bu Hirto didampingi suaminya, Peltu (Purn) Suhirta yang sudah dua periode ini menjadi Ketua RT.
Diakui hasil tangkapan ikan nelayan di Sadang berlimpah, sehingga Bu Hirto tidak kesulitan bahan baku ikan tuna. Ikan-ikan tuna itu dibawa pulang oleh suaminya setelah bertugas atau terkadang Surani Suhirta –mantan pemain volley nasional itu– sendiri yang mengambilnya ke Sadeng naik sepeda motor sejauh 45 Km. Ikan tuna yang ukuran besar itu diletakkan di bagian depan sepeda motornya, sehingga terkadang banyak orang heran melihatnya. Dijelaskan oleh wanita pengusaha itu bahwa ikan tuna yang diolahnya berukuran besar hingga 70 Kg/ekor, karena dagingnya kenyal dibandingkan ikan-ikan tuna berukuran kecil, semisal ikan tuna yang 10 Kg/ekor.
Ketika indonesiatripnews.com menyampaikan bahwa ikan tuna harganya mahal dibandingkan dengan ikan-ikan jenis lain dan kenapa tidak menggantinya dengan ikan lain, Bu Hirto mengemukakan bahwa dia dan suaminya sudah memiliki komitmen untuk menjaga kualitas olahan ikan tunanya. “Jangankan ikan tunanya kami ganti dengan ikan jenis lain, ikan tunanya ukuran kecil dari biasanya saja pelanggan kami tahu. Jadi, kami tidak akan mengganti ikan tuna dengan ikan jenis lain. Itu komitmen kami. Kami menjaga kualitas, ” jelasnya.
Untuk memerlancar produksinya, Bu Hirto yang sebelumnya juga merupakan seorang penjahit terpaksa menjual mesin jahit, mesin obras, dan mesin-mesin lainnya untuk membeli peralatan mengolah ikan tuna sesuai standard industri yang higienis, sehat, dan bersih. Kini dengan peralatan tersebut dan didukung lima orang karyawan, Bu Hirto mampu memroduksi tahu tuna sebanyak 200 pak/sehari yang bisa ditingkatkan sesuai permintaan pasar. Harga jual di pasaran untuk tahu ikan tuna Rp20.000-Rp24.000/pak, untuk otak-otak, keong pansel, kaki naga, bakso, dan nugget ikan tuna, dijual Rp15.000-Rp17.000/bungkus; abon ikan tuna 100 gram Rp35.000, keripik ikan tuna 200 gram Rp35.000, dan rumput laun krispi 100 gram Rp18.000. “Itu harga penjualan dari reseller di wilayah Yogyakarta. Jika lebih jauh kota pengirimannya dijualnya lebih tinggi, karena ada ongkos kirimnya,” ujar Ny Surani Suhirta.
Ditanypa kendala yang dihadapi, Bu Hirto menyebutkan jika Musim Barat; agak sulit mendapatkan ikan tuna. Solusi yang dilakukan adalah produk-produk lain dikurangi, kecuali tahu tuna yang diproduksi lebih banyak.
Untuk produk frozen ekspor, diakui belum dilakukan karena persyaratan dan perizinan yang sulit. Tapi yang jelas produksi olahan ikan tuna Bu Hirto sudah sesuai standar industri besar. Alur masuk-keluar karyawan dan pengunjung ke ruang produksi dan pejualan sudah sesuai prosedur agar semuanya hiegienis, bersih, dan sehat.
Kini Bu Hirto tidak hanya dikenal sebagai pengusaha olahan ikan tuna, tapi juga menjadi pembicara, pelatih, dan berbagi ilmu pada kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan, dan bazaar yang diselenggarakan berbagai instansi.
Ketika ndonesiatripnews.com menanyakan apakah cara mengolah dan resep ada yang dirahasiakan kepada masyarakat ketika dirinya menjadi pembicara, Bu Hirto yang didampingi suami menggeleng. “Saya sampaikan semua cara pengolahan ikan tuna, seperti yang saya lakukan selama ini; termasuk resep-resepnya. Tidak ada yang saya rahasiakan. Tujuannya agar olahan masyarakat banyak yang menggemari dan usahanya maju,” jelasnya. (ori)