JAKARTA, ITN- PARIWISATA menjadi sektor penting bagi Indonesia dan menjadi unggulan bukan hanya stakeholder namun sektor lainnya sehingga siap mendukung guna mengembangkan pariwisata.
Tantangan pariwisata sangat berat terlebih target 17 juta wisatawan harus tercapai, bagaimana mewujudkan untuk mencapai target ke depannya oleh Presiden Jokowi. Terlebih tantangan deregulasi ditambah harus bergerak cepat di zaman milenial dengan negara lain yang terus bergerak mengembangkan pariwisata khususnya di Asean.
“Hampir semua negara ASEAN menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan. Tantangan pariwisata tidak ringan, namun kita yakin jika semua bergandengan tangan untuk membawa peran dalam menggali serta membuat untuk kepentingan pariwisata Indonesia di ke depannya,” ujar Sekretaris Deputi Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata, Edy Wardoyo dalam sambutannya sekaligus membuka acara seminar Road to Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2019- Prospek dan Tantangan Pariwisata 2019 bertema “Deregulasi di Era Cyber Tourism” yang diselenggarakan Forwapar di STP NHI Bandung, Rabu (10/10/18).
Sementara pada kesempatan yang sama Tenaga Ahli Menteri Bidang Pemasaran dan Kerjasama Pariwisata sekaligus Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana I Gde Pitana, mengatakan, “Ini belum outlooknya tapi baru roadnya. Outlook akan diselenggarakan bulan November. Hari ini framenya”.
“Kata kunci dari acara ini outlook, outlook itu tak lain dari pada perkiraan atau kemungkinan apa yang terjadi di masa yang akan datang,” ungkapnya.
Pariwisata tidak ada porno melainkan bagaimana kita melihat dan menghargainya. 10 tahun lalu UNWTO pariwisata pasti mengalami kemajuan di tahun 50-an kenaikan mencapai 20 juta namun di tahun 2020 mencapai 1,6 miliar. Di mana pertumbuhan selalu naik dan mencapai 3,2 persen dan pertumbuhan di 2017 yakni 6,2 persen.
Sejak tahun 2015 pertumbuhan di negara berkembang termasuk Indonesia mengungguli negara maju termasuk Europe sekaligus, pertumbuhan wisman ke negara berkembang dua kali lebih cepat dibandingkan negara maju.
Menurutnya sistem pariwisata itu teori perjalanan wisatawan. Ini yang paling sederhana. Ada tiga titik perjalanan yakni pertama origin yakni daerah wisatawan itu berasal lalu kedua destinasi kemana dia menuju, dan ketiga ada transitery atau daerah perlintasan.
Selain itu kita harus melihat permintaan pasar yang dikenal tourism demand yakni jumlah orang bepergian, maka ada travel propensity di mana ada persentase populasi yang melakukan perjalanan wisata dalam satu tahun. Travel propensity juga dipengaruhi oleh faktor makro, mikro, dan intermediary.
Faktor makro adalah pertumbuhan ekonomi dan itu yang penting, situasi politik serta karakteristik populasinya dan yang terakhir soal keamanan.
Mikro yakni gaya hidup, jenis pekerjaan, motivasi perjalanan, jiwa petualang, tahapan dalam siklus hidup.
Intermediary dilihat dari harga, sistem transportasi, fasilitas akomodasi dan aktivitas kalangan industri dalam pemasaran dan promosi.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2016, 2017, 2018 semua pasar tumbuh dengan baik India misalnya 7,2 persen, China 6,7 persen. Selain itu ada pula pertumbuhan outbound atau jumlah orang keluar dan semua pasar yang ditargetkan Indonesia meningkat.
Lalu ada lagi perubahan psikografi pasar dulu sedikit menggunakan digital, dulu menggunakan travel Agent dan sekarang semua serba menggunakan internet.
“Negara ASEAN yang diapit oleh India dan China sebagai dua negara pasar pariwisata terbesar ini diperebutkan oleh negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Ini menjadi tantangan terbesar bagaimana memperebutkan pasar tersebut,” ungkap I Gde Pitana lebih lanjut.
Kemudian bagaimana Indonesia ke depannya? “Dilihat dari kesiapan destinasi, di 2019 akan ada pilpres dan pileg, kemudian dari sisi bencana alam. Bencana alam adalah hal yang biasa di mana saja, jangan dibuat berlebihan selain itu soal terorisme.
“Lalu soal kondisi pasar, maka pertumbuhan pasar pariwisata di Indonesia akan semakin bertambah, jika dilihat dari destinasi maka Indonesia sudah siap. Destinasi tidak selamanya harus siap dahulu namun benahi secara perlahan untuk siap menerima wisatawan,” jelasnya.
Kemudian menurut Pitana soal sosial politik di Indonesia akan berlangsung aman jika dilihat dari masa ke masa. Selanjutnya isu terorisme bukan hanya di Indonesia melainkan terjadi pula di Perancis, Amerika, dan Jerman.
“Terakhir, banyak negara berusa menjadikan Indonesia sebagai pasat utama mereka diantaranya Selandia Baru yang memberikan insentif bagi pelaku bisnis pariwisata di sana bila berhasil menarik wisman dari negeri kita. Selain itu adapula Jepang yang mengembangkan wisata halal untuk merebut pasar Indonesia, sedangkan Vietnam membuat ‘Bali Baru’ sebagai destinasi unggulan mereka dalam upaya memenangkan persaingan di kawasan pasar ASEAN khususnya dengan Indonesia,” paparnya.
Pitana menambahkan, Lebih dari 70 persen menggunakan jari buat informasi, para pekerja pariwisata tidak bisa memiliki alasan untuk memperdayai wisatawan, transformasi digital membawa dampak banyak yakni percepatan informasi, kemudian wisatawan sudah experience turis karena mereka sudah mempelajari termasuk soal transportasi.
Seminar sehari yang dihadiri 150 peserta ini juga menghadirkan narasumber dari kalangan industri pariwisata, pemerintah, dan akademisi yang tampil dalam dua sesi pembahasan. Sesi pertama menghadirkan Kadisbudpar Kota Bandung, Dewi Kanyiasari dan Sekretaris Deputi Bidang Pemasarn I Kemenpar, Edy Wardoyo yang dimoderatori Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar, Guntur Sakti. (evi)