ISTANBUL, ITN – SUARA adzan shalat Dzuhur terdengar sangat merdu di Masjid Biru atau Blue Mosque, di Istanbul, Turki, minggu ketiga Maret 2018. Udara dingin sekitar 13 derajat Celcius cukup menggigilkan tubuh, meski sudah mengenakan pakaian hangat, lengkap dengan syal, sarung tangan, dan topi musim dingin.
Bagi masyarakat setempat atau masyarakat lain dari negara-negara dengan empat musim, udara dingin seperti itu belum ada “apa-apanya”, tapi bagi masyarakat Indonesia atau yang berasal dari negara-negara tropis; udara dingin itu sudah menggigilkan tubuh. Pakaian beberapa rangkap haruslah dikenakan, termasuk long jones.
Untuk menunaikan shalat Dzuhur, saya bergegas ke tempat wudhu yang berderet di depan Masjid Biru. Tempat wudhu yang dilengkapi tempat duduk waktu itu cukup ramai, karena itu jamaah harus antre. Ketika dapat giliran mengambil air wudhu dan membuka kran, saya benar-benar terkejut. Airnya benar-benar “nyes”. Dingin sekali, seperti air es. Mau tidak mau wudhu dilakukan ekstra cepat dan segera masuk ke area masjid.
Sudah lama saya berkeinginan untuk bisa menunaikan shalat di masjid terkenal di Kota Istanbul itu. Alhamdulillah, akhirnya terlaksana. Usai shalat dan untuk menghangatkan badan, saya dan beberapa orang jamaah asal Indonesia harus berjemur di bawah sinar matahari. Sebagian lainnya ada yang membeli jagung bakar dan biji buah (bentuknya mirip jengkol – Red) yang dipanggang, kalau di Indonesia mirip biji nangka. Jagung bakar dan biji buah panggang itu dijual di gerobak yang ada di luar halaman masjid.
Masjid Biru adalah satu dari dua buah masjid di Turki yang mempunyai enam menara, yang satu lagi berada di Adana. Kabarnya, akibat jumlah menara yang sama dengan Masjidil Haram di Makkah saat itu, Sultan Ahmed I mendapat kritikan tajam sehingga akhirnya Sultan menyumbangkan biaya pembuatan menara ketujuh untuk Masjidil Haram.
Selain pemandangan yang indah, Istanbul memang dipenuhi bangunan-bangunan cantik bersejarah. Tidak jauh dari Masjid Biru, terdapat Museum Aya Sofia. Selain terkenal dengan keindahan arsitekturnya, Aya Sofia sangat unik karena sejarahnya, yaitu pertama dibangun sebagai katedral pada masa Konstantinopel, lalu diubah menjadi masjid selama 500 tahun dan sejak pemerintahan Republik Turki menjadi museum hingga sampai saat ini. Belum lagi Istana Topkapi yang menyimpan beberapa peninggalan Rasulullah SAW.
Masuk dalam kompleks masjid terbesar di Istanbul ini, kita melewati taman bunga yang dilindungi pepohonan yang rindang. Taman yang sangat luas, asri, dan tertata rapi itu membetahkan jamaah masjid dan pengunjung lainnya. Apalagi ada bangku-bangku panjang berjajar rapi yang bisa sejenak menghilangkan kaki yang pegal-pegal karena harus berjalan kaki.
Di dalam masjid, ornamen bunga-bungaan dan tanaman bersulur itu tampak sangat indah memunculkan warna biru saat terkena sinar matahari yang masuk lewat jendela 260 kaca patri. Terdapat pilar-pilar marmer dan lebih dari 200 jendela kaca patri dengan berbagai desain yang memancarkan cahaya dari luar dengan dibantu chandeliers. Dalam chandeliers diletakkan telur burung onta untuk mencegah laba-laba membuat sarang di situ. Dekorasi lainnya adalah kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an yang sebagian besar dibuat oleh Seyyid Kasim Gubari, salah satu kaligrafer terbaik pada masa itu.
Masjid Biru yang disebut juga Masjid Sultan Ahmed terletak di kota tua Istanbul, tepatnya di Sultan Ahmet Mahallesi, Atmeydanı Cd No 7, 34122 Fatih/Istanbul, Turki. Masjid itu sebelum tahun 1453 menjadi pusat pemerintahan Konstantinopel, yaitu ibukota kekaisaran Bizantin/Bizantium.
Kisah dan sejarah pembangunan masjid ini sangatlah menarik, konon kabarnya Sultan Ahmed I memerintahkan kepada arsitek Mehmed Agha untuk membangun menara yang terbuat dari emas, akan tetapi karena kata “emas“ dalam Bahasa Turki “altin“ mirip dengan kata enam yang dalam Bahasa Turki yaitu “alti”, maka Mehmed Agha membuat masjid itu dengan enam menara yang megah dan menjulang tinggi. Padahal arsitek tersebut salah dengar. Masjid itu telanjur berdiri megah dengan enam menara. Mendengar hal itu awalnya Sultan merasa kecewa, akan tetapi setelah melihat keindahannya, konon Sultan Ahmed I justru terpukau dengan desain enam menara yang unik itu.
Keindahan interior Masjid Biru begitu kental dengan keramik berwarna biru. Tak kurang 20.000 keping keramik hasil kerajinan keramik terbaik daerah Iznik, Turki menghiasi masjid ini bermotifkan daun, tulip, mawar, anggur, bunga delima atau motif-motif geometris. Keramik pada lantai bawah dibuat dengan desain tradisional Turki, sementara keramik di lantai galeri dibuat dengan disain bunga dan buah-buahan. Kawasan Turki yang terkenal menghasilkan keramik berkualitas tinggi berwarna biru, hijau, ungu, dan putih. Semua keramik ini didisain oleh seorang ahli keramik dari Iznik, Ksap Haci dan Baris Efendi dari Avanos, Cappadocia. Keramik di sekitar Blue Mosque sempat direstorasi setelah terjadi kebakaran di tahun 1574.
Selain itu karpet sutera terbaik terhampar di lantai masjid ini dan lampu-lampu minyak yang terbuat dari kristal merupakan produk impor. Banyak terdapat barang-barang berharga di masjid ini, termasuk Al Quran bertuliskan tangan. Elemen penting dalam masjid ini adalah mihrab yang terbuat dari marmer yang dipahat dengan hiasan stalaktit dan panel incritive dobel di atasnya. Tembok di sekitarnya dipenuhi dengan keramik.
Masjid Biru didesain agar dalam kondisi yang paling penuh sekalipun, semua yang ada di masjid tetap dapat melihat dan mendengar Imam. Dekorasi lainnya adalah kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an yang sebagian besar dibuat oleh Seyyid Kasim Gubari, salah satu kaligrafer terbaik pada masa itu.
Sesuai dengan tujuan Sultan Ahmed I membangun pada saat itu, masjid biru saat ini masih dipergunakan sebagai tempat ibadah. Setiap Jumat atau Idul Fitri dan Idul Adha, masjid ini bisa menampung hingga 10.000 jamaah, tempat wudhu juga berjajar rapi di sisi depan masjid menyambut jamaah yang ingin menunaikan shalat wajib maupun sunnah.
Apabila kita perhatikan secara seksama ada rantai besi yang terlihat janggal di atas pintu gerbang Masjid Biru di Istanbul ini. Menurut cerita, pada masa lalu hanya Sultan Ahmed saja yang boleh memasuki masjid dengan menunggang kuda. Oleh karena itu rantai ini sengaja dipasang supaya sultan ketika masuk ke dalam halaman masjid harus menundukkan kepalanya supaya kepalanya tidak terantuk rantai tersebut. Inilah simbol kerendahan seorang raja kala itu, meskipun kekuasaan ada di genggaman, Sultan tetap rendah hati. (ori)